[Melamar]

245 25 1
                                    

Tentang bagaimana sudut pandang itu bisa memengaruhi penilaian kita terhadap sesuatu, bahkan tindakan kecil seperti pilihan untuk tetap di rumah. Felinda, seperti biasa, memanfaatkan akhir pekannya dengan bersantai. Jadwal mengajar privatnya libur, jadi tidak ada kewajiban yang memaksanya keluar rumah. Baginya, lebih baik menikmati waktu di rumah daripada keluar tanpa tujuan yang jelas.

Bukan karena malas, tapi ia melihat ini sebagai cara untuk menghemat energi, uang, dan mungkin juga kewarasan. Felinda bukan tipe yang suka memaksakan diri untuk bersosialisasi jika tidak penting. Toh, ia masih menikmati status singlenya. Kalau ada yang bertanya kenapa tidak keluar dengan teman atau pasangan, jawabannya jelas. Ia belum punya pasangan, dan teman? Mereka mungkin punya agenda sendiri.

Namun, di balik ketenangan akhir pekannya, ada satu nama yang selalu muncul tanpa diundang—Bhayangkara. Nama itu saja cukup untuk membuat Felinda menghela napas panjang. Tidak cukup menyenangkan, malah membuat frustrasi.

Ia sudah merasa lebih baik, demam yang sudah menurun dan rasa sakit yang sudah cukup berkurang dari sebelumnya. Sambil berguling-guling di atas ranjang, pikirannya terusik oleh ingatan tentang Bhayangkara. Hal yang pernah terjadi di antara mereka seperti noda yang sulit hilang. Felinda memejamkan mata, mencoba menghalau pikiran itu, tapi justru semakin jelas terbayang.

"Bad luck, Bhayangkara," gumamnya sambil mengepalkan tangan di udara seolah-olah sedang memberikan ancaman.

Ia teringat betapa kesalnya ia saat terakhir kali mereka berbicara. Sikap Bhayangkara yang arogan dan, yah, mesum, benar-benar menguji kesabarannya.

"Tunggu saja, suatu saat nanti aku akan bikin kamu bertekuk lutut sama aku. Dan aku yang bakal ngomong pakai kata-katamu yang 'jangan ganggu aku lagi' , dan kali ini aku yang menentukan permainan."

Wajahnya sedikit memerah, entah karena marah atau karena gemas pada dirinya sendiri. Felinda tahu ini bukan obsesi, hanya keinginan untuk membuktikan bahwa ia tidak selemah itu.

Ia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan kembali scroll media sosial. Kali ini, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Tapi, dalam hatinya, ia berjanji bahwa jika takdir mempertemukannya lagi dengan Bhayangkara, ia akan memastikan segalanya berbeda.

Beranjak siang itu Felinda memandangi layar laptopnya yang sudah menyala sejak pagi. Kotak masuk emailnya penuh dengan balasan dari berbagai perusahaan dan lembaga yang telah ia kirimi lamaran. Beberapa pesan membuatnya bersemangat, sementara yang lain, hanya meninggalkan rasa waspada dan Felinda tak ingin terjebak.

Email pertama yang ia buka membuatnya tersenyum kecil.

"Selamat, Felinda! Lamaran Anda telah kami terima. Kami akan menghubungi Anda untuk tahap selanjutnya."

Namun, senyumnya memudar ketika membaca email berikutnya. Salah satu perusahaan meminta biaya registrasi sebelum ia bisa diundang wawancara.

"Ini kok, minta bayar dulu, ya?" gumam Felinda sambil membaca salah satu balasan yang mencurigakan. Tawaran bergabung dengan perusahaan pemasaran berantai itu terlihat menggiurkan, tapi hati kecilnya merasa ada yang tidak beres.

"Kenapa ada yang begini, sih?" gumamnya sambil mengetukkan jari ke meja. Ia tahu, tidak semua perusahaan yang ia hubungi memiliki reputasi baik.

Dengan segera, Felinda menutup email tersebut. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di tengah kebimbangan ini, satu kabar baik datang untuk menguatkannya: ia lolos administrasi CPNS. Tes selanjutnya akan dilaksanakan di Surabaya.

"Bu, aku lolos administrasi CPNS," ucap Felinda dengan nada penuh harapan saat makan siang bersama ibunya.

Ibunya tersenyum bangga. "Alhamdulillah, Lin. Itu pertanda baik. Belajar yang semangat, ya. Ibu doakan semua lancar."

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang