[Effort untuk Comfort]

93 10 0
                                    

"Di caption bilangnya makan bareng kesayangan, nggak taunya sama Adek sendiri." Mendengar sindiran halus tersebut membuat Salma menoleh ke arah sumber suara—ada Kamal yang berjalan menuju ke arahnya. Sontak saja hal itu membuat Salma terkejut dengan kehadiran seseorang yang selama ini ingin ia hindari.

Salma semakin bingung kala Kamal duduk di sebelah adiknya dengan mengambil kursi lain dan mencomot kentang goreng miliknya tanpa rasa bersalah. "Jadi, gimana? Mau bohong soal apalagi?" ujar Kamal.

Ya, karena Salma sering membuat status yang tidak jelas—seolah bersedih karena putus cinta, kadang bahagia seolah sudah punya hubungan resmi dengan yang lain. Tapi nyatanya itu semua hanya tulisan saja, untuk fotonya tentu saja bukan gebetan atau pacarnya. Kamal mengetahui semuanya. Oh, tentu saja. Ia mengenal baik gadis bernama Salma Maula Rahman. Sialnya, Kamal jatuh hati dengan sosok Salma.

Salma menghela nafas pendek, kemudian menatap ke arah Kamal. "Udah berapa kali aku bilang, aku udah punya calon. Jadi, jangan pernah berharap!"

Serius, Kamal gemas dengan gadis di hadapannya ini. Kenapa selalu halu. "Calon di dunia halu? Kenapa ada yang pasti malah milih yang nggak bisa dimiliki?" balasnya masih dengan tenang.

"Orang sinting emang," Salma bergumam lirih.

Karena merasa lapar, ia tentu saja menghabiskan makanan yang ia pesan bahkan adiknya—Banyu berpura-pura tidak ada orang lain, selain ia dan kakaknya. Ia memilih berdiam saja. Begitu makanan sudah habis, mereka—Salma dan Banyu beranjak untuk pergi. Yang tentu saja itu semua tak lepas dari Kamal yang masih saja mengikuti jejak Salma.

"Salma, tunggu!" Kamal mencekal lengannya membuat si empu otomatis menepis lantas berbalik.

"Apalagi, sih? Nggak usah ganggu!"

"Aku nggak ganggu, aku cuma ngajak kamu nikah. Itu aja."

Ingin rasanya Salma memukul orang di depannya saat ini, jika saja tidak berada di tempat umum. Geregetan, serius.

"Segampang itu kamu ngajak nikah? Pertanggungjawaban apa yang udah kamu persiapkan? Kamu pikir nikah cuma ijab qabul doang?" sarkas Salma menolak mentah-mentah laki-laki yang mengidamkannya selama ini. Karena Salma tidak ingin terjebak oleh janji tanpa bukti dari laki-laki.

Melihat diamnya Kamal membuat Salma kembali berkata, "Nggak bisa jawab? Baiknya pikirkan kembali niatmu itu. Permisi. "

Alih-alih Kamal melepaskan kepergian Salma yang ada justru menggandeng tangan lantas mengajak ke tengah-tengah hingga mereka menjadi perhatian pengunjung mall lainnya.

"Laki-laki itu yang kudu bisa dipegang omongannya," kata Salma kemudian ia menoleh ke arah Kamal dengan senyum miring.

"Ya, emang omongan itu bukan barang yang bisa dipegang bahkan disentuh sekalipun. Tapi, ucapan yang kamu sampaikan itu selalu menyimpan harapan," lanjut Salma.
"Dengan kata nanti, seolah harapan itu bakal terjadi. Sayangnya aku nggak bisa dengan janji-janji."

"Emang bener sama apa yang diucapkan sahabat nabi–Ali bin Abi Talib; aku telah merasakan semua kepahitan dalam hidup, tapi yang paling pahit adalah berharap pada manusia. Aku emang nggak merasakan semua kepahitan hidup, tapi emang yang paling pahit itu harapan dan itu janjimu."

"Terus mau kamu sekarang gimana, Sal?" tanya Kamal setelah terdiam—mendengarkan ucapan Salma.

"Jangan ganggu, juga jangan tunggu."

"Aku cuma ngajak kamu nikah," kata Kamal serius.

"Tapi, maaf. Aku belum ada persiapan untuk berumah tangga, ada ketakutan tentang ekspektasi orang lain terhadapku yang nantinya bisa berujung pada—" tiba-tiba perkataan Salma terhenti karena Kamal yang dengan lancang mencium pipi gadis tersebut.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang