[Tespack]

131 19 1
                                    

Sebelum benar-benar pergi, Felinda memutuskan tetap membantu ibunya, Bu Tanti, mengurus pesanan catering. Hari itu ada dua lokasi pengantaran yang cukup jauh, sehingga Bu Tanti menyarankan agar Felinda tidak terlalu memaksakan diri. Namun, Felinda tetap bersikeras ikut, walau wajahnya terlihat murung sepanjang hari. Beberapa kali ia salah menghitung jumlah porsi, membuat ibunya menegur.

"Felinda, kamu lagi kenapa? Nggak fokus terus?" tanya Bu Tanti sambil memindahkan kotak makanan ke box delivery.

Felinda menggeleng cepat. "Maaf, Bu. Aku cuma kurang enak badan." Tangannya meremas ujung bajunya tanpa sadar.

"Kamu hamil?"

Felinda mengerutkan keningnya, lalu menggeleng lagi. "Aku tadi subuh udah cek, hasilnya negatif."

Ibunya mengangguk paham, tapi tetap mengamati wajah anaknya dengan seksama. "Nggak pa-pa, anak itu rezeki. Nanti kalau waktunya dikasih, pasti kamu juga hamil."

Felinda hanya menggumam pelan, tidak berkomentar lebih jauh. Ia tahu ibunya tidak akan memaksa kalau ia tidak mau cerita.

Namun, seiring berjalannya waktu, tubuhnya terasa makin lelah. Beberapa kali ia harus berhenti untuk menarik napas panjang. Sampai akhirnya, setelah sesi pertama pengantaran selesai, Bu Tanti menatapnya dengan sedikit khawatir seraya mengusap pelan punggung putrinya itu dengan pelan.

"Kalau kamu capek, jangan dipaksakan. Pulang aja kalau nggak kuat," kata ibunya.

Felinda mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu bukan hanya fisiknya yang lelah. Ada sesuatu yang lebih berat di dadanya.

Sebelum pamitan, Felinda mengambil beberapa pakaian ganti dari rumah ibunya. "Baju yang di rumah Mama Ranti masih sedikit," kilahnya saat Bu Tanti bertanya.

Sebelum benar-benar pergi, Felinda juga menyempatkan diri berpamitan kepada orang tua anak didiknya. Raka, salah satu muridnya, sudah menunjukkan perkembangan yang pesat, terutama dalam membaca dan berhitung. Rasanya agak menyesakkan saat harus meninggalkannya.

"Mbak Felinda, sayang banget kalau akhirnya nggak bisa lanjut ngajarin Raka," ucap salah satu orang tua murid dengan nada menyesal.

Felinda tersenyum tipis. "Maaf banget, Bu. Kebetulan sekarang harus ikut suami, jadi nggak bisa lanjut belajar bareng Raka. Tapi semoga dia tetap semangat belajarnya, ya."

"Mbak Felinda udah nikah?"

Felinda terkekeh pelan, sedikit canggung. "Alhamdulillah, Bu. Udah."

"Nggak undang-undang, nih?" canda si ibu.

Felinda hanya tersenyum. Ia ingin menjawab, tapi hatinya terasa sesak.

"Berarti mas-mas yang kadang jemput itu suaminya?"

Felinda mengangguk singkat. Saat hendak melangkah pergi, pertanyaan lain kembali menghentikannya.

"Suaminya nggak ikut anterin hari ini?"

Felinda tertegun. Seketika dadanya terasa lebih sesak, tapi ia buru-buru menutupinya dengan senyum tipis.

"Hari ini sendirian aja, Bu."

Setelah berpamitan, langkahnya terasa lebih berat. Semakin jauh ia pergi, semakin ia menyadari betapa sulitnya menghadapi kenyataan.

~~~~~

Matahari sudah naik, menyinari halaman rumah dengan cahaya yang mulai menyengat. Bhayangkara melirik jam tangannya, alisnya sedikit berkerut. Sudah lebih dari satu jam sejak Felinda pergi belanja, tapi belum ada tanda-tanda ia pulang.

Awalnya, Bhayangkara tidak terlalu berpikir buruk. Mungkin Felinda sekalian mampir ke tempat lain. Tapi semakin lama, kegelisahan mulai mengusik pikirannya.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang