[Akur yang Akar]

96 14 5
                                    

Bhayangkara pulang dengan menenteng kantong plastik yang entah isinya apa, Felinda yang melihat suaminya pulang hanya menatap saja. Begitu Bhayangkara ada di dekatnya, ia merasa bingung ketika Bhayangkara mengeluarkan isi dari kantong plastik.

"Kesukaan kamu," kata Bhayangkara setelah Felinda menerima. Ternyata isinya ayam goreng lengkap dengan sambalnya. Ada enam potong sayap. Saat melihat Felinda merasa ingin menyantapnya langsung, tapi ....

"Aku udah sarapan, sengaja ya ... bikin aku gendut." Felinda memicingkan mata menatap Bhayangkara.

Yang ditatap malah terkekeh melihatnya. Kemudian berkata, "Astaghfirullahaladzim, su'udzan dulu ... jangan takut gendut."

"Bukan takut gendut, tapi nggak mau gendut." Felinda menjelaskan. Ia dilema; ingin memakannya tapi baru beberapa menit yang lalu sarapan-setelah Era pulang-gadis itu katanya mau pergi ke kampus untuk melakukan registrasi perkuliahan.

"Kalau pengin makan ya ... makanlah. Atau mau disuapin?" Bhayangkara menawarkan jasa melayani istri seraya tersenyum.

"Fix, ini mah emang sengaja bikin aku gendut." Masih terjadi perdebatan tentang pikiran negatif Felinda, padahal ia menginginkan ayam tersebut saat melihat pada pandangan pertama.

"Kok gitu terus, sih? Sekarang aku tanya, kamu mau makan, nggak?" Bhayangkara terkekeh kecil dengan tingkah sang istri.

"Ya, mau. Kan, dibeliin!" Felinda mengerucutkan bibirnya. Jadi, Bhayangkara langsung mengambilkan piring beserta nasinya untuk Felinda. Tidak lupa untuk cuci tangan karena ia bersiap untuk menyuapi sang isteri.

"Ini tadi kenapa beli banyak?" tanya Felinda sesaat sebelum menerima suapan. Karena Bhayangkara membelikan ayam goreng tersebut ada empat bungkus.

"Makan dulu, Fe." Bhayangkara tentu saja menegur, isterinya ini kalau banyak tanya selalu sampai titik akar.

"Minum," pinta Felinda. Bhayangkara pun memberikan piringnya pada Felinda kemudian mengambil minum air putih di botol.

"Makasih, Mas Bhayang." tidak lupa Felinda berikan senyum manis.

"Manis nih!" gurau Bhayangkara.

Felinda mengerutkan dahinya. "Apanya?"

"Kamu!"

"Mual dengernya." Bhayangkara justru terkekeh mendengarnya. Lalu ia kembali menyuapi Felinda yang dengan senang hati menerimanya.

"Udahan apa nambah?" pertanyaan yang tiba-tiba dari Bhayangkara membuat Felinda terkejut. Sudah habis saja.

Felinda tampak berpikir sejenak kemudian berkata, "Udahan aja deh ...."

"Serius," kata Felinda seraya meraih minuman yang diambilkan Bhayangkara tadi.

"Ya, udah. Kalau nanti laper makan lagi aja," balas Bhayangkara tak ambil pusing. Ia takkan memaksa Felinda bukan tak peduli, hanya saja kita perlu mengetahui dampaknya juga.

"Makan mulu!"

"Kamu nggak sendirian, Felinda."

Setelah memastikan, Bhayangkara pun lekas membawa piring kosong tersebut ke dapur lantas mencucinya. Begitu Bhayangkara kembali di hadapannya, Felinda langsung melontarkan pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh sang suami.

"Kenapa tadi beli banyak?"

Bhayangkara duduk terlebih dahulu sebelum menjawab, "Tadi ada promo beli tiga gratis satu, ya udah sekalian kan belinya ... kamu sendiri juga suka. Nanti beli satu kurang."

Felinda memukul lengan Bhayangkara merasa tidak terima dengan kalimat terakhirnya. "Aku nggak pernah kurang, ya. Kamu sendiri yang suka nyuruh-nyuruh aku makan mulu," ucap Felinda sengit. Sementara Bhayangkara terkekeh mendengarnya, memang tidak salah dengan apa yang diucapkan Felinda--Bhayangkara seringkali menyuruh Felinda makan dan makan. Jangan salah dengan hasilnya, berat badan Felinda yang kini hamil enam bulan jadi enam puluh lima kilogram yang dulunya sebelum menikah hanya lima puluh kilogram dengan tinggi badan seratus lima puluh lima sentimeter.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang