Malam itu, setelah acara di rumah Tante Sari, Felinda masuk ke kamar lebih dulu. Seharusnya dia bisa langsung tidur, tapi pikirannya masih penuh dengan omongan orang-orang soal kehamilan dan anggapan bahwa dia kurang pantas jadi istri Bhayangkara.
Felinda mengubah posisi menjadi membelakangi ketika Bhayangkara baru masuk kamar, matanya menatap kosong ke dinding kamar. Bhayangkara menghela napas pelan, lalu ikut berbaring. Tangannya terulur, menyentuh punggung Felinda dengan lembut.
"Fe."
Felinda diam.
Bhayangkara bergeser lebih dekat, tangannya kini melingkar di pinggang Felinda, menariknya pelan ke dalam dekapan.
"Jangan diem aja gini," bisiknya di dekat telinga Felinda.
Felinda menutup mata, berusaha meredam perasaan yang berkecamuk di dadanya. "Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Bhayangkara mengecup pelan puncak kepalanya. "Aku nggak mau kita saling diem gini. Aku juga nggak mau kamu ngerasa sendiri dalam hubungan ini."
Felinda menggigit bibir. "Tapi aku emang ngerasa sendiri."
Bhayangkara terdiam, genggamannya di pinggang Felinda menguat. "Aku di sini."
Felinda menghela napas panjang, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Bhayangkara. Tapi di dalam hatinya, masih ada banyak keraguan.
"Kamu ngerasa aku kurang ada buat kamu, 'kan?" Felinda bertanya lirih.
Bhayangkara mengusap lengan Felinda dengan lembut. "Aku nggak pengen kamu ngerasa terbebani sama omongan orang. Aku cuma pengen kita lebih deket. Bukan cuma sebagai suami-istri di depan orang lain, tapi juga di hati kita."
Felinda menegang mendengar kata-katanya.
Bhayangkara menunduk, bibirnya mengecup pelan bahu Felinda yang terbuka. "Aku mau kamu juga ngerasa kalau aku ini suami kamu, Fe. Bukan cuma di atas kertas."
Felinda menelan ludah. "Aku tahu kamu suamiku."
"Tapi kamu masih ngerasa ada jarak sama aku."
Felinda tak membantah. Bhayangkara benar. Memang baru sebulan pernikahan, tapi ada bagian dari dirinya yang masih menahan diri, masih merasa terjebak dalam hubungan yang bukan atas keinginannya sendiri.
Hening beberapa saat, kemudian Bhayangkara memanggil. "Fe, daripada kamu kepikiran sama omongan orang lain. Mending kita ngasih buktinya."
Felinda tersenyum tipis, getir. Ia tahu, tapi di dalam hatinya masih ada yang mengganjal. Ada beban, ada perasaan bahwa seharusnya ia bisa lebih 'berperan' sebagaimana istri pada umumnya.
Bhayangkara meraih tangan Felinda, menggenggamnya erat. "Aku nggak mau kamu cuma 'pasrah' karena ngerasa harus, tapi aku juga nggak mau kamu terus-terusan merasa jauh dari aku."
Felinda menatapnya, dan dalam keheningan itu, ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak menolak ketika Bhayangkara mulai mendekat, ketika kecupan demi kecupan singgah di kulitnya.
Ada kehangatan. Ada getaran asing yang perlahan mengikis ragu di dalam dirinya.
Malam itu, Bhayangkara tak terburu-buru. Tidak menuntut. Ia hanya ingin Felinda tahu bahwa ia benar-benar ada untuknya—tanpa paksaan, tanpa tekanan.
Dan untuk pertama kalinya, Felinda membiarkan dirinya tenggelam dalam peran sebagai seorang istri, bukan karena tuntutan, tapi karena ia ingin mencoba menerima.
~~~~~
Keesokan harinya, Felinda mencoba biasa saja. Menjalani aktivitas di rumah, begitu selesai ia akan pergi ke rumah ibunya jika ada pesanan catering kalau tidak ia akan menunggu waktu siang hari untuk jadwal mengajar. Setelah menikah, Felinda merubah jadwalnya yang semula sore sampai malam sekarang jadi siang sampai sore saja. Karena anak didiknya hanya dua saja, jadi tidak terlalu merepotkan untuk memanajemen waktunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kusempurnakan Separuh Agamamu
ChickLitAnya Felinda baru saja menyelesaikan kuliah di kota kelahirannya. Hidupnya berubah saat mengenal Aldwin Bhayangkara, seorang pegawai pemerintah yang tinggal satu kecamatan dengannya. Awalnya, mereka hanya berteman. Namun, tekanan dari ibu Bhayangkar...