Mas Supplier | Part 15 |

13.6K 1.1K 63
                                    

Setelah kejadian kemarin, Syifa dan Reno sama-sama diam. Tidak bertegur sapa hingga hari ini. Mereka masih dikuasai oleh egoisnya mereka masing-masing.

Keadaan Syifa saat ini jadi lebih lega dan sedikit menyesal. Lega karena dia bisa mengutarakan semua uneg-unegnya dan semua rahasianya pada hari itu dan sedikit menyesal karena mungkin masnya sakit hati bahkan kecewa dengan perkataanya kemarin.

Mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur. Menurut Syifa itu hal yang sudah seharusnya ia utarakan, supaya masnya paham kenapa Syifa enggan bercerita tentang apapun yang ia ingin dan ia alami. Kalau sudah seperti ini kan Syifa maupun Reno bisa introspeksi diri. Setidaknya, mereka tau apa yang mereka pendam selama ini.

Tak dipungkiri juga, Syifa terlalu emosi, marah dan kecewa saat itu hingga kini pun ia masih tidak mau diganggu oleh siapapun. Bahkan mungkin handphonenya dari kemarin belum ia chas  hingga saat ini. Ia mau menyendiri dulu, nanti kalau hatinya sudah sedikit tenang.

Di sekolahpun begitu, Gina sudah merasa ada yang tidak beres dengan Syifa. Pasalnya, Syifa diam saja dari awal masuk hingga pulang. Gina juga ikutan diam, ia tau kalau sahabatnya ada suatu masalah. Makanya ia tidak terlalu kepo dengan apa yang menimpa Syifa. Gina takut kalau ia bertanya malah membuat Syifa marah atau kecewa mungkin.

Syifa yang dari tadi tidur menghadap arah jendela kini ia berbaring terlentang. Ia pusing, menangis dan berdiam diri di kamar malah membuatnya stres. Belum lagi matanya yang sembab karena menangis terlalu lama. Ia berinisiatif mengambil kaca untuk mengetahui matanya seburuk apa.

Namun, ia sekilas ingat dengan tokonya. Ia belum membuka handphone dari kemarin. Ia takut kalau ternyata ada orderan masuk. Syifa segera saja merogoh saku rok seragamnya, handphonenya terakhir kali ia taruh di sana.

"Nah kan mati," ucapnya lalu mencari charge handphonenya. Menunggu sebentar hingga handphonenya menyala dan membuka apakah ia kemarin dan saat ini ada orderan atau tidak.

Tring...

Notifikasi ciri khas kalau ia ada orderan. Syifa langsung lemas, gimana nasib customernya belum lagi gimana nasib tokonya. Dan ya, tebakan Syifa benar. Ada 3 orderan masuk dari kemarin. Di susul dengan notifikasi whatsapp yang muncul terus-terusan. Dan chat masuk itu didominasi oleh chat dari Gina dan Sigit.

"Kalian emang orang yang pengertian," ucapnya ketika chat Sigit dan Gina yang paling banyak. Syifa merasa masih ada orang yang mempedulikannya, mengkhawatirkannya dan mungkin bisa menghiburnya.

Mengingat nama Sigit membuatnya sedikit terharu entah kenapa. Syifa berencana untuk berbagi cerita pada Sigit, kalau Sigit mau tentunya. Toh kalau Sigit nggak mau, dia akan pendam sendiri semuanya. Ia sudah terlatih kok untuk memendam semuanya sendiri. Namun, kini ia butuh sandaran untuk menopang tubuhnya sejenak.

Pak?

Iya Syif, ada apa? Kuota kamu habis ya kok dari kemarin centang satu terus?

Alih-alih membalas pesan Sigit. Syifa malah bertanya hal lain pada Sigit.

Pak, kalau aku butuh sandaran sekarang, apa bapak bisa jadi sandarannya?

Bisa, saya bisa jadi sandaran kamu. Kamu butuh apa selain sandaran dari saya?

Cukup itu aja pak. Makasih udah mau jadi sandaran aku.

Tak selang lama, pesan Syifa langsung centang biru pertanda pesannya sudah dibaca oleh Sigit.

Drt...drt...

Sigit menelfon dirinya. Lalu Syifa mengangkatnya.

Saya ke rumah kamu aja ya? Kamu butuh saya sekarang kan? Saya nggak sibuk, kamu tenang aja.

Kita ketemuan aja ya pak, biar bapak nggak terlalu jauh buat ke rumah aku.

Nggak ada yang namanya jauh kalau saya mau nyamperin kamu. Saya ke rumah kamu, jangan kemana-mana.

Setelah berkata seperti itu, telfon dimatikan secara sepihak oleh Sigit. Syifa memejamkan mata, sekhawatir dan sepeduli ini Sigit padanya. Yang jelas-jelas dia itu orang baru, yang baru masuk ke dalam hidupnya akhir-akhir ini.

Beberapa menit kemudian, ada suara ketukan pintu dan salam yang Syifa dengar dan yang pastinya itu Sigit.

"Kamu kenapa?" tanya Sigit yang melihat keadaan Syifa saat ini.

"Nggak pa-pa, hehe" ucap Syifa memaksakan dirinya untuk tersenyum.

"Saya tanya kamu kenapa?" tanya Sigit lagi dengan nada yang agak keras karena khawatir dengan keadaan Syifa.

"Abis nangis semalaman," ucap Syifa lalu diteruskan dengan tertawa lirih.

Sigit dengan spontan langsung memeluk Syifa. Membawa Syifa untuk bersandar di dadanya. Mungkin Syifa dalam mode tidak baik-baik saja.

Saat seperti ini bukan saatnya untuk bertanya apa masalah yang dihadapi namun, bagaimana memposisikan diri sebagai tempat sandaran yang menenangkan hati.

"Pantesan kamu nggak bales chat saya. Lain kali, jangan sampe kayak gini ya, saya khawatir sama kamu. Saya mau ke rumah kamu buat mastiin tapi takut kamu nggak mau diganggu," jelas Sigit sambil mengelus rambut Syifa.

"Saya nggak akan tanya apa masalah kamu. Dan saya yakin kalau kamu sekarang bukan butuh sandaran saya, tapi kamu cuma mau mastiin kan apa saya akan datang ke sini atau nggak. Dan akhirnya saya datang. Kamu itu cuma butuh waktu sendiri, saya tau itu," sambung Sigit.

Syifa yang berada dipelukan Sigit hanya membenarkan dalam hati apa ucapan Sigit saat ini.

"Handphone kamu mana?" tanya Sigit yang sudah mengurai pelukannya dengan Syifa.

Syifa dengan sukarela menyerahkan handphonenya pada Sigit. Entah apa yang akan dilakukan Sigit pada handphonenya. Dan bodohnya ia malah menyerahkannya secara sukarela.

"Kamu masuk. Tenangin diri. Nggak usah mikir aneh-aneh ya. Jangan nangis nangis lagi. Handphone kamu saya bawa, nanti kalau ada orderan di toko kamu, biar saya tangani. Sekarang masuk ya, saya pamit dulu," jelas Sigit sambil mengelus tangan Syifa sebentar. Ia lalu memasukkan handphone Syifa ke dalam sakunya.

Mungkin hanya hal ini yang bisa ia lakukan saat ini. Ia tidak berani lagi berkata apapun, takut menyinggung dan melukai hati Syifa.

"Kenapa bapak peduli sama aku? Siniin handphone aku. Aku bisa urus semuanya sendiri pak," kata Syifa sambil meminta kembali handphonenya.

"Karena saya suka sama kamu. Saya sayang sama kamu. Saya lakuin ini tulus buat bantu kamu."

"Tapi, aku nggak nyuruh bapak suka sama aku. Aku juga nggak nyuruh bapak sayang sama aku."

"Cinta nggak memandang apapun Syif. Saya juga nggak tau kenapa saya suka kamu. Tolong, sekali ini aja, lihat ketulusan saya sama kamu. Sekali ini aja kamu lihat usaha saya. Saya udah berkali-kali mendekat ke kamu, tapi kamu menjawab iya pun enggak bahkan menolak pun juga enggak. Saya salah kalau saya mengartikan kalau kamu masih mau saya kejar?"

Mereka sama-sama terdiam setelah Sigit mengucapkan hal itu. Sigit tidak mau menunggu lama lagi dan mengulur-ulur waktu untuk mengungkapkan segalanya. Mungkin ini waktu yang tepat.

"Handphone kamu saya bawa. Orderan toko kamu saya yang kerjain. Kamu tenang aja dan sekali lagi, saya cinta sama kamu," ucap Sigit sambil mengelus pipi Syifa guna mengelap sisa air mata yang ada di pipi Syifa.

☀☀☀☀

Jangan lupa vote and comment.

17 Februari 2021

Mas Supplier [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang