Mas Supplier | Part 11 |

14K 1.1K 67
                                    

Pulang sekolah membuat Syifa lelah. Mandi lalu rebahan sebentar memang solusinya. Tak menunggu lama, Syifa lalu bergegas mengambil handuk dan masuk kamar mandi.

Di rumah tidak ada orang, mas dan ibunya masih bekerja. Ya, memang begini keseharian Syifa. Nanti kalau lapar, ibunya sudah memasak dan ia tinggal makan saja. Kadang dia berpikir, ibunya tidak perlu memasak makan siang karena kan di rumah cuma ada dirinya, nanti kalau lapar dia bisa menggoreng telur saja.

Tapi, ibunya tidak mau kalau Syifa menunda makan, karena Santi tau kalau Syifa itu laper tapi mager. Nggak akan Syifa memasak, paling cuma minum teh.

Selesai mandi, Syifa berjalan ke arah luar berniat menutup pintu rumahnya. Tepat di depan rumahnya ada toko peralatan rumah tangga. Dan terdapat banner besar sebagai penanda bahwa itu toko peralatan rumah tangga.

"Tunggu, tunggu deh," ucap Syifa sambil mengucek matanya dan berusaha memfokuskan matanya ke arah toko itu.

"Kok? Ini kenapa," ucapnya panik.

Bagaimana tidak panik, Syifa sudah berkali-kali mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas banner di toko itu namun, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Tulisan yang ada di banner itu buram, sehingga dia tidak bisa membacanya padahal banner di toko itu tulisannya termasuk besar. Tapi, kenapa Syifa melihatnya buram.

"Ah, kenapa ini astaga. Kok tiba-tiba mataku buram. Jangan-jangan," kata Syifa yang semakin panik karena ia melihat tulisan itu buram bahkan sudah tidak jelas sama sekali.

Syifa langsung menutup pintunya. Ia berbalik dan memunggungi pintu. Raut mukanya seperti berfikir keras, ia ini kenapa? Kok tidak bisa membaca tulisan itu? Tulisan itu buram, ini yang salah matanya atau tulisan itu?

"Apa aku emang minus ya? Tapi, masak iya sih? Iya sih dari bulan lalu emang agak burem, agak burem dikit doang tapi nggak separah ini deh," ucapnya lagi.

"Ah..alamat pake kacamata," gumamnya sendiri. Syifa langsung masuk ke kamarnya.

Bingung mau gimana ngomong sama ibu dan masnya kalau matanya minus. Sungguh, ini masalah apa lagi sih? Belum kelar masalah satu muncul masalah lagi. Syifa langsung tengkurap di kasurnya. Ia berpikir, bagaimana? Bagaimana?

Mana Gina pasti nggak ada di rumah. Tadi, sahabatnya itu bilang mau ke rumah neneknya. Tapi, ada satu orang yang bisa Syifa tanya pendapat

Pak Sigit, batin Syifa.

Langsung saja Syifa bersiap untuk ke kantor Sigit. Mau dikira modus juga nggak pa-pa. Soalnya ini penting banget.

Lima belas menit berlalu dan Syifa sampai di depan kantornya Sigit. Langsung saja ia masuk tak lupa mengetuk pintu dahulu.

"Semoga Pak Sigit ada, semoga ada," gumamnya.

Setelah mengetuk pintu, ada seorang laki-laki membukakan pintu dan langsung berhadapan dengan Syifa.

"Eh, permisi mas. Pak Sigitnya ada?" tanya Syifa sambil cengar-cengir tak jelas.

Mana ia malah manggil 'mas', duh jadi salting kan. Ditambah nih, ditambah lagi lelaki di hadapannya ini sepertinya lebih muda dari Sigit dan yang pastinya, ganteng pakek banget.

"Ada di ruangannya dek, ada apa ya?" tanya lelaki itu.

"Boleh nggak panggilin suruh ke sini bentar mas? Please, bentaran doang, bilang ke Pak Sigitnya," ucap Syifa.

"Bentar ya," ucap lelaki itu sambil mempersilahkan Syifa duduk di kursi.

Syifa langsung duduk. Namun, lima menit berlalu Sigit tidak keluar. Salah satu cara yang ada di benaknya ia langsung mengeluarkan handphonenya dan menelpon Sigit. Berdering dan agak lama diangkat. Emang ya Sigit membuat Syifa menunggu.

"Sabar dong, saya kan masih kerja. Ngebet amat mau ketemu saya?" suara Sigit membuat Syifa menaruh handphonenya.

"Pak? Ganggu nggak nih aku?"

"Nggak dong, nggak ada kata 'ganggu' kalau kamu yang dateng. Ada apa?" tanya Sigit penasaran. Tumben, bahkan setelah kejadian dimana Syifa terpesona oleh kantornya, Syifa tidak ke sini lagi.

"Aku minus deh kayaknya pak," ucap Syifa dengan raut muka yang serius.

"Emang," jawab Sigit singkat.

"Loh, bapak kok udah tau?" tanya Syifa yang sedikit bingung dengan jawaban Sigit. Padahal ia sendiri baru mengetahuinya hari ini, kenapa malah orang lain yang tau. Orang yang punya mata Syifa kok Sigit sudah tau?

"Ya taulah, mata kamu itu minus karena nggak bisa lihat cinta saya dan kelakuan kamu juga minus karena nggak nerima cinta saya," jawab Sigit dengan santai. Bahkan dia juga tersenyum, senyum yang sedikit ada modus di sana.

Syifa yang mendengarnya ingin memeluk Sigit lalu mengucapkan, terima kasih dan maaf bapak pasti ngigau.

"Pak aku beneran loh. Mataku kayaknya minus, terus gimana?"

"Ke dokter dong Syif, harus kemana lagi emangnya?" jawab Sigit. Heran Sigit sama Syifa, gadis itu ke sini cuma buat ngomong ini aja?

"Nggak ada temennya," ucap Syifa dengan suara yang pelan.

"Sama ibu atau nggak ayahmu lah."

"Ibu kerja."

"Kakak atau adikmu?"

"Mas kerja, nggak punya adik."

"Temenmu?"

"Gina ke rumah neneknya."

Mendengar jawaban Syifa membuat Sigit mendengus kasar. Ia hanya merasa, kenapa sepertinya Syifa tidak memiliki komunikasi yang baik dengan orang tua atau kakaknya. Bukannya setiap orang tua akan bersedia meninggalkan pekerjaannya sejenak demi anaknya?

"Aku tau pikiran bapak. Ya, aku sungkan dan agak takut kalau bilang ada apa-apa sama ibu dan mas," jelas Syifa. Ini memang yang membuatnya datang ke Sigit.

Entah kenapa ia tidak bisa seakrab Reno dengan Santi. Bahkan kalau ada apa-apa kadang ia memendamnya sendiri karena saking sungkannya untuk berbicara atau mengobrolkan suatu masalah. Entahlah kenapa dia sungkan pada ibu kandungnya sendiri.

Sigit yang mendengarnya langsung memegang tangan Syifa. Gadis ini mengerti apa yang di pikirannya dan tidak malu untuk berkata jujur. Ia salut sih, Syifa malah berani bercerita padanya daripada ke sahabatnya.

"Jangan sedih dong, nanti saya temenin ke dokter. Tapi nggak sekarang ya? Saya masih ada kerjaan. Besok aja gimana? Pulang sekolah," ucap Sigit memberi solusi.

"Nggak ngerepotin?" tanya Syifa sambil memandang wajah Sigit. Kenapa Sigit terlihat tampan kalau sedang baik kayak gini?

"Nggak lah. Emangnya kalau nggak sama saya, kamu mau sama siapa lagi?" tanya Sigit sambil tersenyum lalu mengacak rambut Syifa.

"Jangan sedih lagi. Ah, sekalian saya mau tanya, kenapa nggak order lagi?" tanya Sigit.

Beberapa hari ini tidak ada orderan masuk dari toko Syifa. Sebenarnya sudah dari kemarin ia ingin menanyakan tapi, belum sempat.

"Lagi sepi pak," jawab Syifa.

"Katanya kamu mau kuliah dari penghasilanmu sendiri? Udah berapa uang yang kamu kumpulin?"

"Lima juta. Tiga juta dari aku nulis, dua juta dari dropship."

"Kamu bisa nulis?" tanya Sigit tidak percaya.

"Hehe, sebenernya dulu itu cuma iseng eh malah dapet tawaran buat jadi e-book, yaudah gas aja," jawab Syifa sambil tertawa.

Sigit pun juga ikut tertawa, ada beberapa informasi tentang Syifa yang ia dapatkan. Ia semakin merasa bisa membuat Syifa jatuh cinta padanya. Dan tanpa sadar atau tidak, Syifa seperti menyetujui Sigit untuk masuk dan lebih tau tentang dirinya.

"Calon saya ternyata pinter nulis ya. Saya nggak salah pilih."

"Calon siapa pak, ha?" tanya Syifa yang terkejut dengan perkataan Sigit.

"Saya," ucap Sigit dengan enteng dan santai.

☀☀☀☀

Jangan lupa vote and comment.

9 Februari 2021

Mas Supplier [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang