Mas Supplier | Part 8 |

15.7K 1.3K 61
                                    

"Mas?" panggil Santi pada anaknya. Kini ia tengah memasak.

"Iya bu, sebentar," teriak Reno dari dalam kamar. Ia sedang bersiap untuk ke kantor. Setelah dirasa siap, ia segera ke dapur untuk menemui ibunya.

"Ada apa bu?" jawab Reno yang kini sudah ada di hadapan Santi dengan baju yang rapu dan siap untuk ke kantor.

"Mau berangkat sekarang mas? Tumben, ini masih pagi loh."

"Iya bu, soalnya ada kerjaan mendadak pagi ini. Ada apa ibu panggil mas?"

"Nggak pa-pa. Berangkat gih, keburu telat kamu nanti," ucap Santi sambil mengurungkan niatnya untuk berbicara pada Reno. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya padanya.

"Yaudah, mas berangkat ya bu. Assalamualaikum. Eh iya, Syifa di depan bu kalau ibu butuh bantuan buat masak. Dasar tuh anak, nggak pernah bantuin ibu kalo di dapur," omel Reno.

Bukan nggak pernah sih, dia hanya ingin melebih-lebihkan saja. Jarang sekali Syifa membantu Santi di dapur. Entah itu anak kenapa, padahal paling tidak Syifa bisa memasak walau beberapa masakan.

"Iya, ibu nanti panggil dia kalau butuh bantuan. Berangkat gih. Hati-hati di jalan mas. Jangan ngebut ya, bawain ibu mantu juga ya," goda Santi pada Reno.

Belum pernah Reno membawa gadis untuk dikenalkan pada dirinya. Padahal umur anaknya itu sudah menginjak umur 29 tahun. Sudah cukup untuk berumah tangga, tapi ia sebagai ibu tidak mengharuskan Reno menikah saat ini juga. Namanya jodoh juga nggak akan kemana.

"Iya bu, mas berangkat ya. Assalamualaikum," pamit Reno sambil mencium tangan ibunya.

"Waalaikumsalam."

Santi hanya tersenyum. Kini anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Ia sedikit lega karena berhasil membesarkan kedua anaknya. Tak terasa juga, mungkin beberapa tahun lagi, Reno dan Syifa akan menikah dengan jodohnya masing-masing.

Setelah Reno tak terlihat, dan Santi juga mendengar suara motor menjauh. Ia melangkah menuju dimana Syifa berada. Acara memasaknya juga sudah selesai.

Ia tidak melanjutkan langkahnya dan berhenti di depan jendela rumahnya. Melihat Syifa duduk termenung di pagi hari ini. Dan hal ini tidak pernah Syifa lakukan seingat Santi. Pasti anaknya itu masih berharap bisa kuliah. Namun, apa daya ketika ia tidak bisa membiayai kuliah Syifa.

"Maafin ibu ya, ibu udah hentiin impian kamu. Maafin ibu, nggak bisa kuliahin kamu saat ini. Maafin ibu nggak bisa mendukung kamu masuk SNMPTN padahal kamu masuk pemeringkatan paralel 16. Ibu nggak nyangka kamu bisa masuk 20 besar. Ibu bangga sama kamu nak."

Santi mengucapkannya sambil menyentuh kaca yang ada di hadapannya. Inilah saat-saat Santi merasa sedih. Dimana menghentikan mimpi anak perempuanya yang padahal sudah bersemangat untuk meraih itu.

"Ibu mohon, kamu jangan pernah berpikiran kalau ibu pilih kasih karena mas mu ibu kuliahin tapi, kamu nggak ibu kuliahin. Jangan jangan pernah kepikiran kayak gitu. Ibu sayang kalian berdua nak," ucap Santi sambil menangis.

Beberapa hari ini ia memikirkan itu. Ia tak ingin Syifa berpikiran buruk padanya. Ia tak ingin kalau Syifa itu berpikir bahwa Santi pilih kasih. Dan semoga saja tidak.

☀☀☀☀

Pulang sekolah tiba. Syifa yang kini ada di luar sekolah akan memesan ojol. Namun, ia teringat kalau satu pesanan dari customernya belum ia kirim.

"Aduh, bisa jadi masalah ini," ucap Syifa sambil memukul kepalanya. Bagaimana bisa ia lupa membahasnya dengan Sigit waktu itu.

Mas Supplier [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang