22 - Tragedi Hari Senin

530 101 16
                                    

TRAGEDI HARI SENIN

'Karenanya, hariku terasa kacau. Namun tanpanya, hariku tiada berwarna. Kamu, apa sebenarnya arti hadirmu bagiku?'

Kamu, Imamku

Happy reading! Afwan kalau banyak typo, belum sempat edit.

***

Ghatan meregangkan otot bahunya yang terasa pegal tersebab tas ransel yang sudah dibebani laptop serta tiga buku tebal di dalamnya. Terhitung tiga kali dia coba menghela napas sembari mengipaskan sobekan kardus yang tergeletak di atas meja — entah milik siapa — ke lehernya. Kini ia sedang terduduk tidak santai di salah satu kursi pinggir jalan setelah sebelumnya menghabiskan suapan terakhir bakso malang yang ia pesan. Usai pulang dari kampus untuk bertemu Chaca, Ghatan memutuskan untuk mengisi perut yang sudah terkuras isinya.

"Lama-lama gue stres karena skripsi," gumamnya kesal sambil menyugar rambut dengan sebelah tangan.

Tas gendong sudah dia turunkan dari bahu, namun bebannya terasa masih saja bertumpu di sana. Apa orang yang hendak menyelesaikan pendidikan sarjana merasa seberat ini, seperti dirinya?

"Pak, mau bayar." Dia bangkit dari duduk seraya merogoh dompet hitam dari saku celananya.

Abang-abang penjual bakso tersebut pun menyebutkan nominal harga dari bakso serta segelas es teh yang tadi Ghatan pesan. Setelah mengangsurkan uang dan menerima kembalian, ia tersenyum tipis lalu membawa gelas tadi ke bibirnya untuk ia teguk tetes terakhir es teh tersebut. Oke, mari kita kembali ke kedai untuk menghilangkan kegilaan ini.

Dia kembali menyandang tas gendongnya dan mengambil kunci sembari berjalan mendekat pada motornya yang terparkir tak jauh dari tempatnya duduk tadi. Kalau Ghatan disuruh memilih untuk membuat seribu cangkir kopi sehari dalam waktu tiga tahun atau menyelesaikan skripsi, maka ia akan memilih opsi pertama! Sungguh! Dunia pendidikan bukanlah zonanya dan harusnya tolak ukur seseorang tidak hanya dari sederet gelar bukan? Baginya menjadi barista sekaligus pemilik kedai juga keren, apalagi poin plus-nya di sini adalah dia ganteng. Tolong dicatat baik-baik, Ghatan ganteng!

Baru saja lelaki itu hendak menaikkan standar motornya, lalu lalang penjual kaki lima beserta gerobaknya yang tadi berjejer manis dipinggir jalan mendadak berhamburan nyaris menabraknya — menghentikan pergerakan Ghatan. Suara gaduh yang entah dari mana asalnya itu membuat Ghatan tolah-toleh seperti orang dungu yang tidak tahu apa-apa. Harusnya Ghatan langsung saja menekan starter dan menarik gas kuat-kuat, namun lain yang dilakukannya. Dia justru turun dari motor demi bisa mengamati apa yang terjadi sebenarnya. Ghatan pintar 'kan?

"MAJU LO!"

Teriakan itu membuat Ghatan menelan salivanya. Di sana, tak jauh dari tempatnya kini, berdiri puluhan lelaki berseragam SMA yang penampilannya sudah acak-acakkan. Motor-motor yang sudah dimodifikasi bahkan dengan gesit terparkir di belakang mereka. Benda-benda tajam sudah lengkap di tangan masing-masing. Tatapan-tatapan beringas menjadi pelengkapnya. Apa-apaan ini?!

"Tawuran," gumam Ghatan kemudian. "Kenapa gue harus terjebak di sini."

"NYAWA HARUS DIBALAS DENGAN NYAWA," teriak salah satu lelaki dari gerombolan, membuat gerombolan lain terkekeh singkat.

"Lo pikir kita takut?"

Yang lain tergelak tak lama kemudian. "Kalau emang berani, ayo maju! Lawan kita!"

"Ada apa ini?" sela Ghatan dua detik setelahnya.

Semua pasang mata yang ada di sana melirik Ghatan tajam, menelisik dari atas ke bawah tanpa cela.

GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang