'11' Masih Marah

545 99 10
                                    

MASIH MARAH

Patah hati terberat adalah ketika rumah yang dulu kamu anggap tempat pulang, justru terdengar seperti sebuah tempat penghakiman.

Kamu, Imamku

***

Nanda menatap bangunan di hadapannya. Berkali-kali ia tarik buang napas meredakan gejolak dalam hatinya yang kian menyiksa. Sudah berapa lama ia tidak masuk atau sekadar melihat rumah bercat gading ini? Ah, rasanya sangat lama. Kediaman yang telah membesarkan dan menumbuhkannya tiada yang berubah banyak, selain bebungaan yang dulu ia rawat tiap hari yang makin banyak jumlahnya dan terlihat tidak sering dirapikan.

Bunga itu berantakan, sama seperti hatinya.

Mungkin, orang rumah tiada yang punya waktu untuk sekadar memangkas sesekali. Atau yang lebih memungkinkan, orang-orang berusaha membuat bebungaan itu tampak tidak serupa ketika Nanda di sana. Lebih tepatnya, mereka ingin melupakan segala hal tentang Nanda, sekaligus rasa sakit hati yang dibuatnya.

Tepat ketika ia mulai menjejakkan kaki, mobil metalik masuk ke pekarangan mendahului langkahnya. Dia kembali menghentikan langkah. Ditatapnya orang yang baru saja keluar dari kendaraan tersebut dengan sapaan senyum segaris. 

"Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya orang itu.

Jujur, Nanda asing dengan pertanyaan tersebut. Kenapa ia harus punya alasan untuk datang ke rumahnya sendiri?

"Nanda ingin bertemu Mama, Papa, dan Kakak."

Terdengar helaan napas kasar. "Buat apa?"

"Apa aku harus punya alasan untuk datang dan bertemu dengan orang tua kita, Kak Ashraf?" tanyanya dengan volume pelan, nyaris taak didengar. Patah hati terberat adalah ketika rumah yang dulu kamu anggap tempat pulang, justru terdengar seperti sebuah tempat penghakiman.

"Orang tua kita?" Ashraf terkekeh hambar lantas melanjutkan, " Kamu masih berharap menjadi anak mereka, Nanda?"

Nanda diam, menundukkan kepala dalam-dalam. Sedangkan Sang Kakak hanya bisa menatap ketermanguan gadis tersebut. Ashraf benci harus mengatakan ini: tapi ia benar-benar tidak sanggup melihat kemurungan berpendar di wajah adik satu-satunya. Sebab dulu ia akan selalu jadi benteng pertama ketika ada yang berani mengusik hidup Nanda, dia juga orang pertama yang jadi tempat bercerita ketika gadis itu dapat masalah, serta dia pun menjadi jemari pertama yang mengusap air mata ketika gadis kecilnya menangis.

"Kalau sampai di dalam Mama minta kamu pulang, maka nggak ada alasan kamu tetap di sana," putus Ashraf kemudian seraya berjalan meninggalkan Nanda. Sampai pada muka pintu, lelaki tersebut menoleh karena menyadari sosok yang diajaknya bicara masih tergugu. "Ayo masuk, sebelum Kakak berubah pikiran."

Barulah gadis itu turut melangkah sambil memaksakan senyum.

Dua kali lelaki di depan Nanda mengetuk pintu depan sembari mengucapkan salam sampai akhirnya pintu tersebut dibuka menampakkan sosok wanita rambut sebahu yang muncul dengan senyumnya. Namun, senyum itu luntur seiring tersadarnya ia akan kehadiran Nanda.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya dan dilanjutkan dengan, "untuk apa kamu membawa dia, Ashraf?"

"Ashraf bertemu Nanda di depan, Ma."

Mama menghembuskan napas. "Katakan tujuan kamu ke sini."

"Ma."

"Rupanya kamu masih ingat kalau saya ini Mama kamu," ujarnya lagi membuat hati gadis itu lagi-lagi seakan ditikam belati. Sedalam itukah luka yang dibuatnya?

GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang