SEBENARNYA AKU RAPUH
Aku: rapuh yang ingin terlihat kuat, patah yang ingin disebut utuh, dan pilu yang ingin dipandang bahagia
Kamu, Imamku
***
Kontrakan warna gading yang dua minggu ini ia tempati mulai tampak seiring dengan taksi yang membawa Nanda berbelok dari tikungan samping. Selepas ini ia harus mengemas beberapa pesanan pelanggan lantas ia kirim ke jasa pengiriman terdekat. Yah, meskipun hasil dari usaha ini jauh lebih kecil jika dibandinkan dengan butik yang ia kelola dulu, namun Nanda tetap bersyukur karena darinya ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Rumah yang di depan 'kan, Mbak?" tanya lelaki yang memegang kemudi di depan.
Otomatis kepala gadis tersebut mengangguk, "Iya, Pak."
Bersamaan dengan netranya yang memerhatikan teras depan kontrakan tersebut, alis Nanda mengumpul di tengah jadi satu saat mendapati objek di sana. Detak jantungnya kian tak terkendali, keringat dingin menguasai dalam beberapa detik.
"Gimana dia bisa di sana," gumamnya pelan.
Kalau saja taksi dan kontrakan tersebut berjarak lumayan jauh, mungkin ia akan menyuruh sang pengemudi putar arah dan pergi berlalu dari tempat itu. Namun, rasanya sia-sia, sekarang bahkan mata seseorang yang sedari tadi Nanda perhatikan sudah menangkap kendaraan roda empat yang membawanya.
"Mbak ... sudah sampai." Suara pengemudi taksi membuyarkan isi pikiran Nanda, tak sadar kalau rupanya mobil itu sudah berhenti.
Buru-buru Nanda mengeluarkan sejumlah uang serta mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya memilih segera turun. Ia menelan ludah dengan payah tepat ketika mata hitam legam tersebut memonitornya tajam, seolah hendak menguliti. Sebisa mungkin ia tetap tersenyum lalu mendekat.
"Sudah lama, Kak?"
"Pertanyaan macam apa itu?" sahut lelaki tersebut sambil tertawa hambar. "Harusnya Kakak yang tanya, sudah puas mempermalukan keluarga?"
"Kak," lirih Nanda.
Tampak lelaki tadi menyugar rambut ke belakang, begitu frustrasi dengan apa yang kini ia hadapi. Ditatapnya sekali lagi sosok perempuan yang sejak dulu selalu ia jaga tersebut dengan pandangan yang masih sama tajamnya. "Kakak nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu, Nanda."
Kepala Nanda sudah menunduk, satu tetes air mata jatuh.
"Kamu terlihat bahagia, seolah nggak terjadi apapun dengan tinggal menjauh dari kami. Sedangkan selama ini kami mati-matian cari kamu, kebingungan sana-sini. Setiap hari selalu bertanya-tanya dalam hati, gimana kalau sampai terjadi hal yang tidak-tidak di luar sana. Apalagi kamu bilang akan ke Kairo, kamu pikir perasaan kami semua apa, Nanda?" Deru napasnya kian tak beraturan seiring dengan bahu Nanda yang terguncang.
Gadis itu terisak di tempatnya.
"Kamu nggak tahu apa yang sudah kami lalui karena pergimu yang seolah tanpa pamit. Omongan dan gunjingan dari orang-orang membuat Mama marah dalam beberapa saat, namun beliau nggak tahu marah itu ditujukan pada siapa. Karena memang anaknya seburuk itu ... kamu, Nanda, kamu memang seburuk itu."
"Kak Ashraf," panggilnya dengan suara kecil, "aku pergi karena ada alasan."
Ada gurat senyum miring di sudut bibir Ashraf. "Alasan seperti apa? Karena kamu ingin melanjutkan pendidikan? Jangan harap Kakak akan simpati dengan alasan kamu. Akan lebih terdengar masuk akal saat kamu bilang karena ingin mempermalukan keluarga."
![](https://img.wattpad.com/cover/235651048-288-k629312.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]
EspiritualRomance-Spriritual #6 Spiritual (26 September 2021) #11 Nanda (7 Agustus 2020) #242 Spiritual (25 Jan 2021) #296 Spiritual (20 Maret 2021) #271 Spiritual (29 Maret 2021) Ghatan Putra Aditya. Pemuda dua puluh empat tahun yang masih terjebak dengan ku...