TANYA PADA HATI
Kalau kamu pikir hati seorang lelaki sekeras besi, maka kamu salah. Bahkan besi saja bisa berkarat saat terlalu lama dibiarkan hujan panas menimpanya
Kamu, Imamku
***
S
ore itu, tiada yang berubah sepanjang apa yang dilihatnya. Lalu lalang kendaraan satu-dua melintas, mentari menyingsing rendah di ujung barat, semburat merahnya mulai tenggelam bersama detak jam yang kian memeluk malam. Pepohonan berderet sejauh mata memandang, sesekali melambai pelan sebab terpaan angin yang menyusup. Sebetulnya, hari ini dia sudah penat -- baik fisik maupun pikirannya. Kebas sebab berjalan lumayan jauh menuju apartemen dan bolak-balik keluar lagi membuatnya nyaris saja tumbang kalau-kalau dia tak menguatkan diri sendiri. Apalagi sejak siang belum ada sesuap makanan pun yang menyentuh lambung. Rasanya kosong.
"Gimana kabar kamu, Nanda?" tanya orang tersebut seraya membasahi bibir bawahnya. Kecanggungan menguar, menyelimuti suasana sore yang makin pekat aromanya itu.
Nanda mengangguk, "Alhamdulillah baik, seperti yang terlihat. Mas sendiri?"
Tak langsung menjawab, lelaki tersebut hanya mengembuskan napas sekali.
"Ah, Mas Azhar nggak begitu tenang karena aku kembali ya?"
Kekosongan gerak serta bicara sudah membuat Nanda menemukan jawab atas pertanyaannya. Terlihat dalam beberapa waktu, Azhar seperti hendak mengutarakan sesuatu namun tertahan. Nanda tersenyum kecut, sekadar ucapan terima kasih atas apa yang telah filakukannya sampai saat ini pun, tidak ada yang keluar dari mulut Azhar. Apakah perasaan dan hati Nanda bukanlah apa-apa? Bukannya Nanda gila hormat atau terima kasih, hanya saja ada seberkas kecewa yang menimpa. Kenapa tiada yang merasa bahagia sebab kembalinya?
Belum ada yang angkat bicara, keduanya sama-sama sibuk dengan benak masing-masing. Tenggelam bersama bising deruman mobil yang lewat sesekali.
"Kalau kekhawatiran kamu masih perihal kepulanganku, aku rasa itu nggak perlu, Mas," ucap perempuan itu tanpa mau memandang lelaki di sampingnya. Nadanya rendah, tidak seperti Nanda yang biasanya. Tiada pula senyum ayu yang selalu nampak, seolah semua itu sudah mati bersamaan dengan sakit hati yang masih saja dibawanya. "Aku nggak akan mengatakan apapun, baik pada Alba, keluargaku, atau keluargamu."
"Nanda."
"Kamu nggak perlu bohong. Kepulanganku bukanlah sesuatu yang kamu harapkan, bukan?"
Lagi, Azhar membisu di tempat.
"Aku pikir apa yang telah kulakukan bisa menebus perasaanku padamu, Mas, karena sudah lancang mencintaimu. Tapi rasanya semua hal sia-sia. Kamu justru sekarang seperti menghakimi kepulanganku. Apa kamu juga nggak pernah memikirkan perasaanku, Mas?" Entah keberanian dari mana gadis itu mengucapkannya.
Kalau biasanya Nanda lebih suka menutupi apa yang tengah melanda hati dan pikirannya, kini ia memilih untuk membuka lebar. Karena bagaimana pun ia tetaplah manusia, yang terkadang kalah oleh ego dan emosi. Mungkin sebelumnya ia masih bisa bersabar saat Azhar mengikuti permainannya untuk tak mengenal satu sama lain di depan orang lain, salah satunya Ghatan. Tapi sekarang tidak, kesabaran Nanda seolah sudah menemukan ujung.
Dilanjutkanlah lagi, "Berbulan-bulan aku pergi, berharap luka di hatiku sembuh, menemukan bahagianya lagi. Tapi rupanya tidak semudah itu. Harus aku katakan, kalau melupakan perasaan nggak semudah itu, Mas. Kupikir setelah aku meminta pada-Nya agar membalikkan hatiku atasmu, semuanya akan membaik dan perasaanku menguap. Kupikir juga setelah aku pergi, semua orang akan melupakan apa yang terjadi, namun rupanya kebencian orang-orang nggak bisa aku uraikan begitu saja. Bahkan Mama .... Ibu yang sudah melahirkan aku nggak lagi mau melihatku."
KAMU SEDANG MEMBACA
GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]
EspiritualRomance-Spriritual #6 Spiritual (26 September 2021) #11 Nanda (7 Agustus 2020) #242 Spiritual (25 Jan 2021) #296 Spiritual (20 Maret 2021) #271 Spiritual (29 Maret 2021) Ghatan Putra Aditya. Pemuda dua puluh empat tahun yang masih terjebak dengan ku...