'2' Antara Cinta untuk Manusia dan Pencipta

903 124 6
                                    

Aku tidak mengerti seberapa besar cinta seseorang yang tidak cinta dengan pencipta. Rasanya lucu mendengar orang bilang cinta, padahal dzat yang harusnya mendapat sepenuh cinta itu dia abai dan lupa.

Kamu, Imamku

***

Ia melirik sekilas pesan yang setengah jam lalu masuk ke ponselnya, membaca ulang memastikan lantas mengangguk mantap. "Bener ini apartemen Chaca," gumamnya kemudian.

Tak berselang lama, tangannya menekan bel di samping kanan pintu. Sembari menunggu sang pemilik membuka, ia memonitor sekeliling. Kalau melihat harga yang Chaca bilang semalam, apartemen ini bisa dibilang nyaman untuk ditinggali dan cocok di kantong. Lingkungannya bersih, suasana juga tak begitu ramai karena terletak agak jauh dari jalan raya, namun masih bisa dijangkau untuk ke tempat kerja atau makan. Harganya tak terlalu mahal untuk ukuran sebuah apartemen di Kota Jakarta. Yah, setidaknya ia tak perlu repot-repot memutar otak dalam hal keuangan.

Sekali lagi ia menoleh ke pintu, belum ada jawaban.

"Hari ini dia bilang libur, nggak ada kelas," gumamnya lantas kembali melarikan jemari pada bel tersebut. "Apa aku telfon aja, ya."

Nanda mulai menelusuri kontak Chaca, setelah menemukannya ia segera menekan tombol call. Namun, belum genap dua detik ia menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan, suara kunci yang diputar membuatnya buru-buru mematikan sambungan. Ia lantas menurunkan ponsel tersebut dan segera memasukkannya ke saku gamis.

"Cha ...," ucapnya menggantung. Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sosok yang kini membuka pintu membuat senyum kecil di sudut bibir Nanda raib.

"Halo, Mbak Nanda. Hehe. Kaget, ya."

"Kamu ngapain di sini?" Mata Nanda membelalak saat menyadari siapa yang kini berhadapan dengan dirinya tersebut.

"Saya 'kan adiknya Mbak Chaca, wajar saya di apartemen Kakak saya kan." 

Aish, pertanyaan Nanda memang terdengar bodoh sekali. Tapi sebenarnya, yang Nanda heran dan tanyakan kenapa manusia satu ini kebetulan harus berada di apartemen Chaca saat ia hendak berkunjung? Atau jangan-jangan dia sengaja kemari karena tahu Nanda akan datang? Kalau sampai benar demikian, sungguh Nanda ingin sekali menjambak rambut kecoklatan pemuda ini.

"Kebetulan saya mampir, Mbak, nggak ada niat ketemu sama Mbak Nanda kok. Lagian saya nggak tahu kalau Mbak Nanda mau ke sini," kata Ghatan tiba-tiba seolah tahu apa yang tengah dipikirkan Nanda.

Gadis itu gelagapan, sebisa mungkin kembali menata air wajahnya agar normal.

"Tapi tadinya saya mau balik cepet, cuma Mbak Chaca bilang Mbak mau ke sini, yaudah saya pulang nanti aja."

Benar dugaannya bukan? Sejak awal perasaan Nanda tidak enak dengan kehadiran Ghatan, ia merasa sangsi jika semua ini hanyalah kebetulan semata - kecuali memang kebetulan yang kemudian direncanakan.

"Chaca di dalam?" tanyanya langsung ke inti, malas membahas hal-hal tidak penting yang ia yakini akhirnya hanya akan berakhir pada kata-kata gombal Ghatan. Muka dan usianya sudah terlampau tua, tapi tingkahnya melampaui anak usia lima tahun. Ck!

Tak langsung menjawab, Ghatan justru keluar dari apartemen tersebut dan menutup pintu. Senyum di sudut bibirnya membuat Nanda berangsur mengatur jarak. "Ada kok, tapi temenin saya ke depan dulu ya. Mau cari makan siang."

"Urusannya sama saya?"

"Mbak biarin lihat saya kelaparan? Gimana kalau mendadak maagh saya kambuh, terus sakit, kekurangan gizi, lemes, masuk rumah sakit, dan akhirnya nyawa saya nggak tertolong. Mbak mau saya salahkan?"

GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang