23 - Doktrin untuk Lelaki

518 110 39
                                    

DOKTRIN UNTUK LELAKI

"Kenapa lelaki harus dituntut tampak kuat saat dirinya perlu untuk istirahat dan terlihat lemah beberapa saat?"

Kamu, Imamku

Aku target 25 komen di part ini. Tolong ramaikan ya. Jujur aku molor update karena target komen di part sebelumnya nggak terpenuhi. So, ramaikan kolom komentar :)

***

Lidia melotot setelah mengelap wajah sang putra menggunakan kain waslap.

"Enak nggak baring di kasur rumah sakit seharian?" ucapnya dengan nada menyindir. "Bangga ya punya karya lukis sebanyak ini? Mau Mama tambahin nggak? Minimal kursi ini bisa bikin wajah kamu tambah biru, biar terkesan kaya pemandangan laut."

Entahlah, bahkan sekarang Ghatan memilih untuk menarik kesadarannya lagi karena rasanya lebih baik pingsan kalau akhirnya ketika sadar justru dicekoki omelan dari Mama sejak tadi. Tahu tidak, kalau semakin dicecar begini, bukan hanya soal luka fisik saja tapi bisa jadi luka mental? Dia membatin dan menyumpahi banyak hal soal wanita ini.

"Kalau nggak ikhlas lebih baik nggak usah bawa Ghatan ke sini," gumam lelaki itu dengan suara pelan.

Lagi-lagi mata Lidia melebar. "Mama dengar ya! Bisa-bisanya kamu malah salahin Mama, padahal jelas-jelas Mama yang udah baik hati bawa kamu ke sini. Coba bayangin kalau hati Mama udah terlanjur sakit sama kamu, udah Mama tinggalin kamu yang pingsan di depan pintu. Biar ada orang yang nemuin kamu paginya, atau Mama seret kamu ke jalan depan rumah kita biar pengguna jalan lain aja yang sadar kalau ada mayat pemuda nggak berguna kaya kamu!"

Oke, ini agak keterlaluan.

"Ma, nggak bisa dong sekarang Mama justru seolah rendahin aku begini," protesnya mencoba beralih posisi menjadi duduk namun pergerakannya terhenti sebab rasa nyeri masih menyerangnya.

Tangan wanita itu yang bebas dari memegang baskom tempat air yang tadi ia gunakan untuk 'memandikan' sang putra melayang hingga mengenai kepala Ghatan, memukulnya agak keras. "Rendahin gimana, Bang? Coba jelasin ke Mama, bujang umur dua empat tahun dari sudut dunia mana yang masih nongkrong sama anak SMA terus adu kelahi buat cari sensai kaya kamu?! Nggak ada! Ya Cuma kamu ini!"

"Sensasi?" ulang Ghatan sambil tertawa sumbang. Dia tidak salah dengar 'kan?

"Iya sensasi, bahkan kamu udah ngalahin Barber Kumalasari yang tiap hari cari sensai di acara gosip kesukaan Mama!"

Mungkin akan lebih baik bagi keberlangsungan hidupnya untuk diam daripada terus mendebat wanita, apalagi ini adalah Mamanya — yang memang dikenal seisi rumah sebagai kepala departemen keras kepala. Maka, Ghatan memutuskan untuk memiringkan posisi berbaringnya menjadi membelakangi wanita tersebut dan menarik selimut rumah sakit tinggi-tinggi sampai menutup wajahnya. Memejamkan mata berupaya tidur, Ghatan terus mencengkeram selimut tersebut saat tangan Mama berusaha menariknya.

"Bang!" teriak Lidia. Dia lantas menghela napas berat sambil mengusap dada. Kenapa satu anak lelaki di rumahnya ini selalu saja membuat masalah? Dia tidak bisa membayangkan kalau ada dua atau tiga Ghatan lagi di hidupnya, bisa-bisa jantung dan emosinya diuji lebih sering lagi.

"Assalamu'alaikum."

Otomatis kepala wanita tersebut langsung beralih pada bingkai pintu yang sedikit terbuka. Dia tidak bisa memastikan siapa yang berdiri dan baru saja mengetuk pintu di balik kayu yang menjulang tersebut karena sosoknya tak terlalu jelas terlihat. Maka dengan gegas ia berjalan menuju pintu memastikan.

GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang