'7' Tentang Nandara

514 98 12
                                    

TENTANG NANDARA

Ada luka yang sampai sekarang belum kering. Jika kamu datang membawa penawar, silakan. Tapi jika hadirmu justru membawa air garam, maaf, pergimu kupersilakan.

Kamu, Imamku

***

Ghatan bangkit dari duduk selepas jamaah di masjid berangsur pulang - menyisakan dirinya yang bersiap keluar dari tempat ibadah tersebut. Memang dia sengaja pulang akhir karena dia tak mau orang-orang melihat wajah tampannya kini. Bisa-bisa dia diberondong pertanyaan jamaah masjid yang melihatnya. Tadi saja sehabis ia iqomah, pandangan penuh tanda tanya dilemparkan tiap pasang mata yang melihatnya. Bahkan usai sholat dilaksanakan, seorang lelaki yang tadi memintanya iqomah bertanya, "Masnya habis kepeleset di mana? Atau jangan-jangan Mas ini habis dipukul karena nyopet ya."

Panjang lebar ia menjelaskan sampai akhirnya lelaki itu hanya mengangguk, namun masih ada raut tidak percaya dari matanya. Ah, wajah ini merepotkan sekali.

"Siapa itu?" gumam Ghatan saat mendapati sebuah mobil terhenti di depan kontrakan Nanda disusul seorang wanita dan pria yang menghampiri Nanda - baru saja gadis itu sampai teras usai dari masjid.

Entahlah apa yang dibicarakan, tapi Ghatan menangkap adu mulut dengan jelas. Asalnya bukan dari Nanda, melainkan wanita tadi. Sedangkan gadis itu hanya bisa diam di tempat, seolah tak berniat membalas.

Dalam satu gerak, Ghatan memakai kembali helm yang ada di motor dan segera berlalu meninggalkan parkiras masjid tersebut. Dihentikannya kendaraan roda dua itu di samping mobil tadi, lantas ia turun.

"Ada apa ini?" ucap Ghatan membuat ketiga orang yang tengah dirundung suasana mencekam di sana menoleh. "Anda siapa, petang-petang begini membuat keributan di lingkungan orang lain."

Melihat sosok Ghatan yang rautnya sudah tidak seperti biasa, Nanda yang sedari tadi diam kini bersuara pelan, mencegah lelaki itu bertindak lebih jauh. "Ghatan."

Wanita yang memakai rok dan kaos lengan pendek itu menatap Ghatan dari atas sampai bawah. "Jangan ikut campur urusan kami."

Ghatan tertawa. "Mohon maaf, tapi saya tidak bisa untuk tidak ikut campur karena saya paling nggak bisa melihat keributan. Anda mengganggu ketertiban di sini."

"Dia teman kamu?" tanya wanita itu pada Nanda yang kini menunduk. "Pantas saja kelakuan kamu semakin hari semakin tidak bisa dimaklumi. Apa kata orang saat melihat lulusan santriwati bergaul dengan preman seperti ini? Atau jangan-jangan lelaki ini yang membawa kamu kabur?"

Ada gertakan hati patah yang berkabung dalam diri Nanda. Seumur hidup ia tak pernah mendapat cercaan semacam itu, apalagi dari orang yang paling ia cintai di dunia ini. Ia ingin marah dan meluruskan segalanya, tapi lagi-lagi Nanda bukan orang seperti itu. Baginya, akan lebih baik menjaga diri dengan diam daripada berdebat meski benar. Manusia diberi nafsu bukan semata-mata agar bisa melampiaskan sesuka hati, termasuk nafsu untuk marah. Bisa saja Nanda marah sekarang, tapi ia ingat bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.

Tangan wanita tadi mencengkeram salah satu bahu gadis tersebut lalu mengguncangnya. "Jawab! Kamu punya hubungan serius dengan dia?"

"Cukup, Tante!" Ghatan berusaha melepas tangan wanita tersebut lalu berdiri di hadapan Nanda. "Mbak Nanda bukan perempuan seperti itu."

"Minggir kamu, jangan ikut campur antara masalah ibu dan anak. Siapa kamu sampai-sampai menghalangi saya mendidik anak saya sendiri?"

Keterkejutan tak bisa lagi disembunyikan Ghatan mendengar pengakuan bahwa wanita ini adalah Mama Nanda. Ada beragam pertanyaan yang menyerangnya, mulai dari bagaimana bisa seorang ibu menghardik anaknya sedemikian keras sampai pertanyaan apakah ada masalah serius hingga beliau marah sebesar ini.

GHATAN [Complete Dan Sudah Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang