09. Feelings

2.6K 441 48
                                    

"Rasanya punya adek tuh kayak gimana, Dan?"

Haidan menoleh kepada Juna yang kedua tangannya sibuk memainkan jari jemarinya. Kemudian, ia menengadahkan kepalanya menatap langit-langit kamar berwarna polos serta lampu yang menyala begitu terang. Haidan tertawa kecil, seolah netranya melihat kilasan hidupnya.

"Mau yang seneng dulu, apa yang sekiranya bikin gue banyak overthinking dulu?"

"Opsi kedua."

Haidan mengangguk kecil. Lantas dirinya menghela napasnya, bersiap menceritakan segala hal yang ia rasakan selama ini. "Kalau gue ceritain hal yang kurang enak, bukan berarti punya Leon adalah hal terburuk yang gue punya ya Jun. Justru dengan punya Leon, gue ngerasa kalau gue punya temen di sini."

"Tapi ya tentu aja ngga semua hal selalu berjalan sesuai apa yang kita mau. Nggak dikit juga hal-hal yang kadang bikin gue rasanya pengen protes, pengen ngeluh ini itu karena kadang gue ngerasa diri gue udah bukan prioritas lagi. Kayak yang oranglain rasain, punya adek juga kadang bikin perhatian ke si kakak kurang maksimal. Tapi ada juga sebaliknya, ceritanya orang kan nggak bisa disamaratakan."

Juna mengangguk kecil, kemudian duduk bersila di atas ranjang milik Haidan untuk bersiap mendengar segala keluh kesah yang Haidan punya.

"Ada waktunya apa yang gue pengen nggak selalu terpenuhi dan apa yang Leon pengen selalu terpenuhi, yang kadang bikin gue galau seharian dan diem seharian. Tapi lagi-lagi, mami sama papi bukan tipe orang yang selalu peka sama gue. Mungkin mereka nganggepnya tiap gue diem ya gue lagi badmood aja, karena lo-lo semua pun paham gimana mood gue. Kadang ngeselin, kadang diem padahal rasanya gaada hal yang salah. Tapi ya gue aja yang pengecut, nggak berani bilang ini itu dan milih diem aja. Karena gue rasa kalau gue speak up pun gue juga akhirnya diketawain. Mana ada seorang Haidan cemburu sama adiknya?"

Haidan tertawa kecil. "Seenggaknya itu yang mereka pikir. Gue easy going dan juga dikenal nggak begitu peduli sama yang begituan, padahal kalau mau nyoba ngertiin pun gue banyak ngebatinnya. Tapi ya mau gimana lagi?"

Juna menatap wajah Haidan yang selalu menampilkan tawa khasnya. Setidaknya dalam suasana begini, Haidan masih mencoba melakukan yang terbaik untuk tetap terlihat baik-baik aja.

"Rasanya kayak gue nggak boleh marah, Jun. Gaboleh ngeluh dan gaboleh protes ini itu. Padahal kan ya, mau di posisi ke berapa pun sebagai anak, gue juga punya hak buat sesekali marah, sesekali ngeluh, atau sesekali nuntut buat ikut dingertiin juga. Tapi lagi-lagi, sebelum gue speak up gue udah takut duluan. Takut kalau mereka maksain diri buat perhatian sama gue, takut kalau perlakuan mereka ke gue kayak dibuat-buat aja. Banyak takutnya, karena gue pun yakin jadi mami papi juga nggak gampang."

Haidan menatap meja belajarnya yang begitu rapi. Kemudian ia menunduk, menatap jari-jari kakinya yang sedari tadi ia gerakkan. "Ada kalanya gue sedih sewaktu mereka nanyain Leon mau makan apa dan gue tinggal ngalah aja, dan juga gue dipaksa makan apapun yang Leon mau padahal sebenernya gue nggak suka. Ada saatnya juga gue ngerasa pengen nangis tiap mami terlalu percaya kalau gue bisa ngelakuin segala hal sendiri dan ngerasa mereka benar-benar ngelepas gue. Saat itu, gue bakal nenangin diri sendiri dengan bilang kalau gue udah besar, bukan saatnya buat cemburu-cemburu gitu. Apalagi Leon punya trauma yang nggak sepele juga, gue lebih banyak ngerasa bersalah sama Leon, Jun."

Ia mengangkat wajahnya, menatap Juna yang sedang serius memperhatikan dirinya. Haidan menampilkan senyum lebarnya, masih mencoba menahan diri dan memperlihatkan bahwa dirinya masih tetap baik-baik saja.

Padahal Juna paham, sorot mata Haidan yang begitu berbeda dari sebelumnya menandakan bahwa laki-laki seusianya itu sedang menahan sesuatu di balik ceritanya.

DAKSA (Renjun ft Wenyeol) [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang