🌻 semoga masih dan tetap kerasa ya feelnya walaupun slow update. Ini ngetiknya ngebut, jadi tolong maklumin kalau banyak typo. anyway, happy reading!!! 🌻
⚠️❗❗❗
Mengandung kekerasan, selfharm, kata-kata kasar yang bener-bener nggak enak banget, dan menyinggung tentang selfharm. Kalau nggak kuat, nggak usah dibaca ya. Butuh kebijakan kalian dalam memilih bacaan, karena segala efek setelah membaca ini bukan tanggungjawabku soalnya udah aku kasih warning. Atau skip bagian akhir ya. Beneran ini guys, i beg you.
Juna masih enggan membuka ponselnya, meskipun getaran-getarannya terasa sedikit mengganggu. Ia sudah hapal, mungkin ketiga temannya yang sedikit kurang kerjaan dan membahas hal yang tidak penting. Karena dari sekian banyaknya group chat di ponselnya, hanya group bersama ketiga temannya yang tidak ia bisukan.Pikirannya masih penuh, masih memikirkan tentang papanya yang sudah berani main tangan dengannya. Tidak munafik, pipinya masih terasa panas. Ada rasa sedih juga dalam hatinya, mengingat Chandra pernah ada di sisinya, berdiri bersamanya dan menjanjikan sesuatu yang sangat besar baginya.
Belum sampai janji itu dipenuhi, Chandra sudah menciptakan luka yang lain bagi Juna. Padahal Juna sangat menunggu janjinya, sangat menunggu kapan waktu itu akan tiba.
Ia mengernyit ketika getaran ponselnya semakin intens. Ia memutuskan untuk membuka ponselnya, netranya menemukan chat group yang sudah berisi ratusan chat. Iya, isinya hanya kegabutan ketiga temannya.
Ia tersenyum kecil. Hati kecilnya ingin memberitahu ketiga temannya, bahwa ia tidak sedang baik-baik saja. Bahwa pipinya perih, bahwa papanya habis menampar dirinya, bahwa ia tidak lagi diperbolehkan bermain bersama ketiganya.
Dan berkata bahwa banyak luka yang ia sembunyikan di balik hoodienya.
Hanya saja ia tidak sanggup. Ia masih mampu bersembunyi, ia masih mampu menahan, ia masih mampu merasakan segalanya seorang diri.
Lagipula, apa yang bisa mereka bertiga perbuat jika Juna menceritakan segalanya? Tidak akan ada yang berubah, kan?
***
Juna memperhatikan wajahnya melalui cermin besar di kamarnya. Hari masih sangat pagi, masih banyak sisa waktunya untuk berangkat sekolah. Namun yang ia pusingkan adalah, bekas tamparan papanya kemarin malah membiru. Bekasnya sangat terlihat, tidak bisa ia tutupi.
Dan yang paling memusingkan, apa yang akan ia katakan pada ketiga temannya nanti?
Juna bukan tipe orang yang suka berantem yang melibatkan fisik. Ia hanya jago dalam adu mulut, itupun hanya ia lakukan bersama ketiga temannya. Tidak mungkin ia berbohong bahwa ia terlibat adu jotos, karena memang sangat tidak mungkin seorang Junanda terlibat adu jotos.
Terjatuh? Terlalu konyol. Bekasnya sangat terlihat seperti bekas tamparan, atau bekas tonjokan. Langkah yang bisa ia ambil hanya dua, membolos sekolah atau menghindar dari ketiganya.
Tidak. Mungkin pilihan kedua yang tepat. Karena lagi-lagi, ia tidak ingin membolos dan dicap sebagai anak nakal yang dapat membuat orangtuanya kecewa lagi. Selama ini Juna dikenal sebagai anak yang tidak aneh-aneh, nilai akademiknya cukup baik. Jadi, ia tidak ingin mengorbankan sekolahnya.
Menghindar mungkin lebih memungkinkan.
Hal pertama yang ia sambut ketika memasuki kelas adalah Nakula yang terlihat sangat gabut, membaca daftar piket yang terpampang di depan kelas. Ia mengernyit, menyadari warna keunguan di pipi Juna. Merasa diperhatikan, Juna mempercepat langkahnya, namun terlebih dahulu Nakula menghadang dirinya.
"Pipi lo kenapa deh? Lo adu bacot sama siapa sampe bisa dijotos begini? Siapa? Bilang sama gue, biar gue hajar. Tapi masa iya lo adu jotos sama orang sih? Dijotos setan lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA (Renjun ft Wenyeol) [SUDAH DITERBITKAN]
Fanfic[Sudah terbit dengan ending yang berbeda dari versi Wattpad] "Junanda, dunia nggak sekecil yang kamu kira hingga kamu bisa menggenggam segalanya dan menginginkan semua hal terjadi sesuai kemauan kamu. Junanda, semesta punya banyak cerita." Iya, tema...