🌻 semoga masih dan tetap kerasa ya feelnya walaupun slow update. Ini ngetiknya ngebut, jadi tolong maklumin kalau banyak typo. anyway, happy reading!!! 🌻
⚠️❗❗❗
Mengandung selfharm, kata-kata yang bener-bener nggak enak banget, suicide, dan mention about blood. Kalau nggak kuat, nggak usah dibaca ya. Butuh kebijakan kalian dalam memilih bacaan, karena segala efek setelah membaca ini bukan tanggungjawabku soalnya udah aku kasih warning. Atau skip bagian akhir ya. Beneran ini guys, i beg you.
"Om... Juna sakit..." ucap Haidan tatkala mendengar suara berat di seberang sana. Haidan menggigiti kukunya, sambil duduk di kursi depan rumah Juna.
"Om udah tau kan? Tante udah telfon om kan? Ayo pulang, om. Anterin Juna ke rumah sakit ya om? Juna maunya sama om, tolong om."
"Haidan... om mau meeting penting. Nanti ya om pulangnya? Kalau memang udah nggak tahan lagi, tolong bawa Juna ke rumah sakit ya? Nanti administrasinya biar om yang urus, kamu nggak usah khawatir, ya?"
Anak laki-laki itu memejamkan matanya. Sungguh, rasanya seperti ingin menangis dan berteriak sekarang.
"Om, Haidan telfon om bukan karena Haidan khawatir sama biayanya. Bukan tentang uang, om. Tapi Juna, Juna butuh om. Juna maunya sama om sama tante, tapi tante malah pergi nggak mau nemenin Juna. Kerjaannya om lebih penting ya daripada nyawanya Juna? Papi juga bisa kok kalau cuma bayar biaya rumah sakit doang. Tapi Juna butuh om, maunya sama om. Om Chandra pulang ya?"
Laki-laki dewasa di seberang sana memijit pelipisnya ketika mendengar kalimat yang Haidan lontarkan. Pasalnya, meeting kali inu benar-benar tidak bisa ditunda karena melibatkan orang-orang penting yang akan terlibat kerjasama dengan bisnisnya.
"Haidan, nggak bisa. Om nggak bisa pulang sekarang."
Mendengar kalimat yang tak pernah Haidan harapkan itu, Haidan tersenyum miris.
"Om Chandra, Haidan boleh nanya nggak? Kalau Juna pergi, om sedih nggak? Kalau Haidan sedih, om. Kalau Haidan sedih banget. Haidan akui om, dulu Haidan pernah maki-maki Juna dan ngatain Juna egois. Tapi sekarang Haidan ngerti, kalau semua hal emang perlu dilihat dari dua sisi. Juna ternyata nggak egois, om."
"Haidan sebenernya mau ngomong apa?"
Lagi-lagi Haidan tersenyum miris.
"Haidan nggak pernah siap kalau ditinggal Juna pergi, om. Nggak akan pernah siap. Orang-orang masih nganggep kalau sakit maag tuh sepele ya om? Mungkin juga Haidan nggak berlebihan gini kalau sakitnya Juna cuma maag dan nggak ada sakit lain. Tapi om, sakitnya Juna nggak cuma itu. Bahkan suatu saat kalau Juna pergi, penyebabnya mungkin bukan maag-nya. Haidan percaya kalau om beneran sayang banget sama Juna, jadi tolong om pulang ya? Apa Haidan harus sujud di kaki om biar om mau pulang?"
"Haidan, bentar ya? Waktunya om mepet banget, beneran. Nanti om langsung pulang kalau udah selesai."
Haidan tertawa kecil, sembari menggeleng kecil.
"Om... Haidan beneran nggak ngerti lagi sama om. Beneran om, nggak ngerti. Yaudah ya om, Haidan nggak maksa Juna lagi buat mau ke rumah sakit. Biar sewaktu om pulang, biar om nangis kejer nangisin Juna. Biar om tau kayak gimana rasanya jadi Haidan sekarang. Dan untuk kali pertama juga Haidan berdoa biar Juna cepet dipanggil sama Tuhan, biar Juna disembuhin dan dibalikin bahagianya, viar yang sedih om aja. Juna don't deserve you om. Maaf ngeganggu waktu om, semoga meeting-nya lancar ya om."
Begitu saja, Haidan menutup telfonnya. Lantas Haidan berjongkok, meredakan amarah yang begitu besar dalam dadanya.
Bagaimana bisa Chandra seperti itu? Apa tidak ada rasa khawatir sedikitpun untuk Juna? Apakah benar-benar rasa bencinya menutup hati nuraninya pada anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA (Renjun ft Wenyeol) [SUDAH DITERBITKAN]
Fanfiction[Sudah terbit dengan ending yang berbeda dari versi Wattpad] "Junanda, dunia nggak sekecil yang kamu kira hingga kamu bisa menggenggam segalanya dan menginginkan semua hal terjadi sesuai kemauan kamu. Junanda, semesta punya banyak cerita." Iya, tema...