Kalau ada yang bertanya apakah Juna sedang baik-baik saja, maka bohong jika Juna menjawab ia baik-baik saja. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah Haidan sesaat setelah Chandra tiba-tiba memeluk dirinya dengan sangat erat. Sorot mata papanya dan juga hatinya yang luar biasa sakitnya.
Bagaimana bisa ia tetap baik-baik saja ketika ia sudah mendengar semuanya?
Bagaimana bisa ia tetap tersenyum seolah ia tidak mendengar apapun padahal beberapa saat yang lalu ia mendengar bahwa mamanya tidak ingin melihatnya lagi?
Juna memandang dedaunan yang terkena oleh sinar rembulan yang malam ini sedang semangat-semangatnya bersinar. Ia tersenyum kecil dari balik jendela kamarnya, menatap hamparan halaman depan yang dipenuhi oleh tanaman yang begitu indah. Otaknya seakan dengan sengaja memutar memori tentang mamanya, segala hal yang pernah membuat Juna merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.
Bagaimana lembutnya tatapan dan suara mamanya ketika sedang menasehati dirinya, bagaimana anggunnya mamanya ketika sedang tersenyum atau tertawa, atau tentang bagaimana mamanya diam ketika beliau sedang marah.
Juna rindu pada segala yang pernah terjadi di kehidupannya beberapa bulan yang lalu.
Maaf, tolong, dan terima kasih. Tiga kata yang selalu Windy ucapkan kepada Juna. "Juna, dalam hidup kamu jangan pernah lupakan tiga kata ini. Maaf, tolong dan terima kasih. Maaf, apapun yang akan kamu lakukan dan sekecil apapun kesalahan yang kamu buat, jangan malu buat mengucapkan kata maaf."
Juna mengangguk kecil ketika mengingat suara lembut mamanya.
"Tolong, sekecil apapun kamu meminta bantuan, sedekat apapun orang itu, jangan pernah lupain kata tolong ya. Didahului sama kata maaf, lalu kata tolong, habis itu omongin apa yang kamu butuhkan. Dan terakhir, terima kasih. Apapun yang kamu ucapkan, apapun yang kamu dan mereka lakukan, ucapkan terima kasih."
"Itu menunjukkan seberapa kamu menghargai dan menghormati oranglain."
Dan lagi-lagi, Juna tersenyum kecil.
Ia memainkan sekat jendela yang terasa sedikit berdebu. Kemudian, ia menatap jari telunjuknya yang kotor oleh debu tersebut. Juna tersenyum lagi, netranya menatap hamparan halaman depan yang begitu terang.
"Maaf ya, ma. Salahnya Juna udah fatal sampai mama nggak mau lihat Juna lagi."
Lalu, ia meletakkan kepalanya pada meja belajar yang begitu rapi. "Tolong, maafin Juna. Sebesar apapun salahnya Juna, maafin Juna. Karena rasanya jauh dari mama, kayak hidupnya Juna udah benar-benar hancur."
Tangannya meraih bolpoin yang tertata di tempat pensil, lalu menyoretkannya pada selembar kertas kosong bekas ia belajar matematika. "Dan terima kasih, karena mama seenggaknya nggak ngebuang susunya di tempat cuci piring. Walaupun Juna tau kalau yang minum susunya papa, seenggaknya Juna nggak ngelihat ada susu yang terbuang di sana."
Kemudian, ia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan yang ia buat. "Tiga kata, buat mama."
Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaannya sekarang. Matanya terasa panas, namun yang Juna lakukan adalah memejamkan matanya sembari menelan segala hal pahit yang ia dengar beberapa saat yang lalu.
•••
Juna keluar ketika ia telah selesai dengan segala persiapannya pagi ini. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Pertanda ia sedang menguatkan dirinya untuk hari ini.
Ia menatap papanya yang sedang duduk manis di meja makan, dengan tangannya yang sedang mengusap perut mamanya yang sudah terlihat begitu besar. Windy tertawa kecil sesaat sebelum melihat sosok anak laki-lakinya. Kemudian, tawanya hilang begitu saja ketika melihat senyum manis yang Juna berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA (Renjun ft Wenyeol) [SUDAH DITERBITKAN]
Fiksi Penggemar[Sudah terbit dengan ending yang berbeda dari versi Wattpad] "Junanda, dunia nggak sekecil yang kamu kira hingga kamu bisa menggenggam segalanya dan menginginkan semua hal terjadi sesuai kemauan kamu. Junanda, semesta punya banyak cerita." Iya, tema...