◆Part 1 : Seperti inilah◆

66.5K 5.9K 399
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Netra Remaja yang sedang meringkuk dibawah selimut perlahan terbuka, matahari sudah menyapa bahkan sampai menembus lubang-lubang kecil dinding. Tapi si empu kamar masih membiarkan selimut menutupinya. Rasanya badannya enggan untuk bergerak, bukan tidak mau hanya saja hari ini sepertinya badannya tidak mau diajak berkompromi lagi.

"Ssttt ahhh...." Desis si empu kamar. Ia membuka perlahan selimut tipisnya, selimut yang Ia gunakan setiap hari menahan angin malam yang sering menembus masuk kamarnya.

Kamar? sejujurnya itu tak terlihat seperti kamar, banyak barang-barang tak layak pakai bertumpuk di depannya. Bahkan tidur menggunakan alas sarung sudah cukup baginya. Mungkin ini salah satu alasan setiap pagi dirinya harus merasakan remuk dibagian punggung.

Ia bangkit dan mendudukan dirinya sebentar, melihat keluar dengan bermodalkan lubang lapisan kayu yang membantunya melihat keluar.

"Aish! aku sudah terlambat." Remaja itu berpegangan pada dinding untuk membantunya berdiri. Ia sedikit melakukan peregangan pada bagian punggung dan lengannya.

"Ahh!" Ia memegang area lengannya, tubuh kurus itu dapat menjelaskan kenapa lengannya sangat rawan sakit, namun itu bukan satu-satunya. Kulit putihnya sudah tak sempurna lagi, bercak biru yang menghitam memenuhi setiap sisi kulitnya. Netra matanya memandang pilu penampakan dirinya hari ini, "Tidak apa-apa Jian, kau masih punya banyak stok perban."

Jian Aldenio, remaja bernama Jian itu tersenyum simpul dengan menggulungkan perban pada lengan atasnya, memotongnya dengan hati-hati dan menyimpannya dengan rapi, senyum di bibirnya memang lebar namun terkesan memaksa, entah karena terpaksa atau telah terbiasa.

"Sudah selesai, dengan begini aku bisa bersekolah dengan tenang." Sejenak gerakannya terhenti, "Jian bodoh, tak akan ada yang peduli jika tubuhmu penuh perban atau tidak. Kau hanya akan terlihat seperti Casper." Bahkan sekarang masih sempat bagi dirinya untuk tertawa. Stok perban di dalam ruangan itu menjadi saksi bahwa dirinya sangat membutuhkan itu, seperti sudah menjadi sebagian dari hidupnya.

Ia memanggil dirinya sendiri sebagai Casper, sebagai hiburan. Casper adalah hantu yang baik. Ya, itulah Jian, ia tak terlihat seperti hantu, namun baginya dirinya sudah melakukan yang terbaik, jadi tidak apa sekali-kali memberi dirinya penghargaan dengan hiburan kecil.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Jian menuruni anak tangga satu persatu dengan dasi putih abu-abu di tangannya dan tas yang hanya tersisa satu resleting di punggungnya.

"Ma?" tak ada jawaban. Jian mengedarkan pandangannya ke sekitar, ya ini tandanya dia sudah benar-benar terlambat. Pandangannya tertuju pada jam dinding di dekat ruang tengah.

"Astaga, 6.55!" panik Jian. Tanpa pikir panjang segera Ia berlari menuju pintu namun langkahnya terhenti lagi melihat keadaan dapur sangat berantakan.

Bodoh. 5 menit terakhir sebelum dirinya mendapatkan hukuman di sekolah karena terlambat, tapi kakinya malah melangkah menuju dapur.

Serpihan kaca dimana-mana, piring kotor berantakan diatas wastafel, "mama pasti minum lagi." Bisik Jian. Ia bahkan masih sempat mengambil sekop dan sapu untuk membersihkan kepingan kaca botol tak beraturan tersebut. Kepingan besar Ia ambil menggunakan tangan sedangkan yang kecil Ia sapu dan memasukannya kedalam sekop secara perlahan. Berharap tak meninggalkan satupun serpihan lagi.

"Huft, sisanya akan ku kerjakan sepulang sekolah saja." Jian meletakan sapu dan sekopnya setelah membuang serpihan kaca ke dalam tong sampah. Saatnya dirinya harus menyaksikan keadaan luar yang menunggu. Ia terlalu sibuk memikirkan hal yang terjadi kedepannya hingga melupakan fakta bahwa Ia pergi dengan perut kosong.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

"Jian, ini sudah yang ke 4 kalinya kamu terlambat di semester ini!"

Ya, ini yang Jian maksud. Tak bisa dihindari, waktu 5 menitnya sudah habis sedangkan perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu 20 menit dengan berjalan kaki dan 15 menit dengan berlari, namun entah kenapa hari ini Jian tak memiliki banyak tenaga untuk berlari, Jian agak menggerutu pada dirinya sendiri, kenapa tidak memakan apapun sebelum pergi. Setidaknya isi dengan minum air putih walaupun tak akan ada makanan yang bisa ia temukan di pagi hari. Keringat sudah membasahi sebagian bajunya, bibir pucat karena kehabisan oksigen itu juga tak membuat orang orang merasa kasihan.

"Kamu itu sudah berada di kelas senior, tahun pertama sekarang sudah semester dua Jian, sudah bukan anak-anak lagi!" Jian hanya bisa menunduk, mendengar ocehan seseorang yang lebih tua darinya, di depan teman-teman yang sudah duduk manis menunggu materi.

"Seperti biasa, menghadap tiang bendera."

Jian mengangguk mengerti, toh ini bukan yang pertama, Ia hanya harus berdiri dan menghadap tiang bendera sampai pelajaran guru di depannya ini selesai, setelah itu penderitaannya berakhir.

Tapi rasanya tidak untuk hari ini, baru beberapa menit Ia berdiri kakinya terasa sudah minta untuk istirahat, tangannya bergetar hebat, keringat dinginnya semakin banyak keluar, nafasnya menggebu-gebu.

"Tahan Jian, sebentar lagi. Ini hanya efek panas matahari." Bahkan dengan bibir pucat nya Ia masih bisa menyemangati dirinya sendiri. "Kau harus belajar, mendapatkan beasiswa dan bertemu kak Juna." kedua ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman, namun senyuman itu luntur bersamaan dengan tubuhnya yang cepat menghantam kerasnya lapangan.

Semuanya gelap.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

"Jovan! Jerian!"

Pemilik nama merasa malas menjawab dan deheman kecil menjadi satu-satunya jawaban yang bisa mereka berikan.

Mereka? si kembar di kelas 12, Jovan Aldenio dan Jerian Aldenio. Anak kembar keluarga Aldenio. Sangat mudah dikenali karena mereka adalah kembar satu-satunya di sekolah, ditambah kakak mereka, Juna Aldenio. Yang adalah salah satu anak berprestasi, kini melanjutkan universitasnya di United state. Orang tua mereka juga sangat berpengaruh, walaupun kabar mengatakan bahwa kini mereka berpisah tapi si kembar selalu mendapatkan hak mereka, sungguh kehidupan yang membuat semua orang iri.

Salah seorang dari dua yang kini berdiri di depan si kembar dengan kulit sawo matangnya hanya bisa berdecak sebal, "Jian ada di UKS."

"Ya, terus?"

"Sudahlah Hendra, mereka berdua tidak akan bertindak apa-apa. Lebih baik kita saja yang pergi menemuinya." Pemuda bernama Malvin itu menahan lengan yang barusan berbicara. Malvin merotasikan matanya menatap si kembar di depannya yang masih sibuk dengan ponsel pintarnya.

"Jovan, Jerian. Jian hari ini datang terlambat, ia dihukum menghadap tiang bendera. Kalian tidak pergi bersamanya?"

"Salah sendiri, dia yang bangun terlambat."

"Tidak ada salahnya membangunkannya, toh kalian pergi dengan mobil, tidak akan terlambat juga kan?"

Salah seorang yang tadi dilempar pertanyaan hanya bisa menggeleng sinis, "Malvin, sejak kapan dia menjadi adik kami? kami tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadapnya."

Hendra menggeleng, "Sudahlah Malvin, mereka kepala batu." Hendra menarik tangan Malvin untuk menjauh dari mereka. Tapi nihil tak ada pergerakan, Malvin masih mempertahankan tempatnya.

"Jovan! Jerian! ini sudah 16 tahun. Kenapa kalian masih gak bisa mencoba melihat dia sebagai adik kalian? hati kalian terbuat dari apa? dia bahkan tidak pernah membenci kalian yang memperlakukan nya layaknya sampah."

"Malvin sudah...." Hendra masih berusaha menarik Malvin.

"Dia bukan adik kami, Malvin!"

"Jovan! Jaga bicaramu!" Hendra mulai angkat bicara melihat kelakukan si kembar di depannya ini, Ia awalnya tak ingin menambah masalah, tapi mereka seperti memancing amarah Hendra untuk keluar.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Pelukan Untuk JianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang