◆Part 18 : Warm heart◆

24.1K 3.9K 390
                                    

"𝑬𝒏𝒋𝒐𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒓𝒐𝒄𝒆𝒔𝒔, 𝒇𝒆𝒆𝒍 𝒅𝒆𝒍𝒊𝒈𝒉𝒕 𝒊𝒏 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒄𝒉𝒂𝒑𝒕𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒘𝒐𝒓𝒅𝒔"

Happy reading

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Yoga tersenyum tipis, pesawat sahabatnya sudah lepas landas. Sengaja Yoga menunggu lebih lama di mobilnya untuk memperhatikan benda bersayap tersebut.

"Jadi, dia benar-benar pergi?"

Tanpa memalingkan wajahnya, Yoga mengangguk tipis menanggapi sumber suara tersebut, "dia akan pergi menepati janjinya pada adiknya."

"Juna pasti sangat menyayangi Jian."

"Ya, sangat."

"Apa kau yakin aku tidak perlu ikut pergi bersamanya?"

Yoga menggeleng, "tidak perlu, perpisahan kecil tadi sudah cukup. Apapun yang terjadi disana, Juna akan tetap membawa Jian pergi." Senyum tipis Yoga merekah, membawa nya kembali bernaung pada ingatan lamanya bagaimana Juna yang hampir setiap hari berusaha keras menyelesaikan sekolahnya hanya supaya bisa bertemu adiknya.

"Terimakasih sudah menemani kami ke bandara, Paman Josh," Yoga tersenyum menolehkan kepalanya pada pria yang terlihat lebih tua darinya, "dan kenapa tadi tidak mau turun untuk mengucapkan perpisahan lagi?"

Josh, pria itu menggeleng pelan, "nanti aku akan semakin merasa bersalah. Padahal harus nya aku ikut, untuk meminta maaf, tapi sepertinya itu juga belum cukup."

Yoga tersenyum simpul. Josh ikut menemani kepergian Juna. Cerita kepergian Juna bukan dilakukan secara mendadak, melainkan dengan rencana. Bahkan, Josh pun ikut berpartisipasi di dalamnya menjadi saksi cerita milik Juna.

"Orang dewasa memang serumit ini ya." Josh melanjutkan.

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Hari ini, Jian hanya ingin sendiri. Melangkahkan kakinya pelan, melihat ruas bebatuan kecil menemaninya pulang. Sakit di perutnya sudah sedikit merenda, walaupun tak sepenuhnya membaik.

"Kembalikan!"

'Bugh! Bugh!'

Telinga Jian menajam, kepalanya mendongak mencari sumber suara. Suara yang tak asing di telinganya, menjerit seperti tidak dalam keadaan yang baik. Mengerutkan keningnya, Jian mencoba mengalihkan perhatiannya, pendengarannya bagai bertabrakan dengan berbagai kendaraan.

"Kak Jovan?" Manik nya membola melihat seseorang yang dikenalnya tengah menjadi bulanan dua orang asing yang bisa Jian yakini mereka adalah seorang yang jahat. Jovan bahkan sudah meronta, kakaknya itu punya kekuatan yang besar tapi tidak bisa melawan dua orang di depannya tentu saja membuat Jian panik. Tapi sayang, Jian berada di seberang jalan. Kendaraan tak kian berhenti, parahnya bak tak kasat mata, tak ada satupun kendaraan yang mau berhenti sekedar melerai. Tak ada orang di sisi jalan tempat kakaknya berada, lain halnya dengan di tempat Jian . Tampak mereka ingin membantu tapi tak ada waktu untuk menyebrang, keadaan jalan yang padat membuat kendaraan pun sulit untuk berhenti.

"Astaga bagaimana ini." Jian menggigit jarinya khawatir, dilihatnya kakaknya itu sudah hampir lepas kesadarannya karena dipukuli. Bahkan beberapa menit kemudian dapat Jian lihat Jovan sudah berada di tepi jalan. Itu terlihat berbahaya jika Jovan kehilangan keseimbangannya. Jian lagi-lagi meringis, bahkan telinganya dengan jelas mendengar kepanikan orang disisinya.

Dan benar apa yang ditakutkan Jian terjadi. Tubuh kakaknya itu terhuyung ke belakang. Jian menerobos jalanan yang bahkan sudah diisi dengan keributan dari klakson orang-orang. Tak peduli bahwa kini tubuhnya meliuk berusaha menghindari kendaraan lain. Setidaknya Tubuhnya akan aman sampai bisa mencapai Jovan.

"Kak Jovan!"

'BRAKKKKK!!!!!'

Remaja tinggi itu sudah memprediksinya. Truk di depan matanya tak bisa dihindari. Hanya ada satu kesempatan yang dapat diambil dalam jangka waktu yang singkat — Salah satu atau keduanya—Tak akan ada banyak waktu untuk Jian menarik Jovan, waktunya akan sedikit cukup jika Jian mendorong kakaknya. Tak ada waktu untuk menyelamatkan keduanya, mereka berdua tertabrak secara bersamaan atau salah satu selamat. Dan semua sudah tahu keputusan terakhirnya. Orang lain akan selalu menjadi prioritas Remaja tinggi tersebut. Bahkan tulang nya yang remuk dan darah segarnya yang terus keluar tak ada bandingannya. Senyumnya tetap merekah melihat kakaknya masih bisa berlari, menghampirinya, sebelum semuanya menjadi gelap.

"Jian!"

Jerian terdiam. Tubuhnya kaku. Pandangannya mengunci, jantungnya menjerit kala melihat pemandangan di depannya terlihat begitu menyakitkan. Dokter lalu-lalang dan terlihat bekerja keras menangani yang di dalam sana. Jika kejadian itu menimpa Jovan, Jerian mungkin tidak akan memaafkannya. Namun kejadian ini, menimpa seseorang yang bahkan tak pernah Jerian inginkan.

Hatinya remuk, rasa bersalah mulai menggerogoti nya. Jerian membencinya, bahkan sangat membencinya. Sekarang, Jerian bahkan semakin membencinya. Jerian benci, benci saat dirinya kini benar-benar terlihat seperti orang jahat. Tangannya mengepal, bahkan keadaan anak di dalam bangsal rumah sakit tersebut terlihat mengerikan. Tubuhnya tertutupi berbagai alat, selang menjuntai kemana-mana, kepalanya habis ditutupi perban. Elektrokardiograf yang bahkan terlihat hampir simetris, semua itu, ya semua itu kini membuat Jerian kehilangan semua katanya.

"Kapan kita akan melihatnya bangun?" Jerian menatap nanar Jovan yang berada di sebelahnya dengan duduk di kursi roda. Jovan menggelengkan kepalanya lemah, Ia memalingkan wajahnya, tubuhnya pun ikut bergetar menandakan pria itu sedang menahan tangisnya.

"Dia kritis sekarang ini. Perkiraan sementara adalah cedera otak traumatis."

Rahang Jerian kian mengeras, pertahanannya runtuh.

"Dasar bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" berkali kali Jerian memukul pintu ruangan Jian. Mengentaskan kepalanya dan menangis. Jovan pun hanya diam, tak berusaha menghentikan perbuatan Jerian. Bukan tidak bersyukur, Jovan bahkan bisa paham, mungkin kecelakaan itu memang ditujukan untuknya yang jahat. Jovan pun sama, sangat membenci Jian. Bahkan perasaan benci itu masih tertanam di sana, bagaimana bayi itu lahir dan menghancurkan semua kebahagiaannya, bagaimana bayi itu lahir dan menjadi awal kesulitan bagi dirinya. Tapi tidak dengan membalas nya dengan nyawa. Lagi-lagi perasaan bersalah itu muncul, bahkan sekedar menutupinya dengan apa yang telah Jian lakukan sejak dia lahir Jovan tak bisa. Yang Jovan ingat bahkan bagaimana Jian tak pernah melawan saat dimarah, bagaimana Jian hanya menerima pukulannya, bagaimana Jian hanya diam saat dimarahi.

Semua itu, ya dan semua itu kini keluar dalam benaknya, semua yang seharusnya Jovan lihat sedari dulu. Perasaan cemburunya pada perhatian Juna, perasaan bencinya bahkan mungkin tidak sebanding. Jian, anak itu hanya ingin diterima, "tidak ada yang bisa memilih takdir. Kita selalu menganggapnya mengambil kebahagiaan kita, mengambil Juna dari kita. Tanpa kita sadari, bahkan kebahagiaan tidak pernah berpihak padanya...."

Jerian menekuk lututnya, menangis bertumpu pada tangannya. Apa yang dibilang Jovan benar. Jerian ingat bagaimana Jian menolongnya bahkan membantu mengobati lukanya bahkan disaat Jerian benar-benar tak ingin ada keberadaannya disana. Jerian ingat bagaimana Jian tetap memasak untuknya walaupun tak pernah ingin Jerian sentuh. Anak yang dibenci itu bahkan mencoba memberikan mereka kebahagiaan.

To be continue

━━━━━━━ ♡ ━━━━━━━

Pelukan Untuk JianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang