Bonus Chapter (Part 4)

7.8K 652 90
                                    

Yoga ingat bagaimana pertemuan nya dengan Juna yang terbilang biasa saja, tak pernah terpikir bahwa akan terjadi saat dimana salah satu siswa pintar dikampus akan memiliki ikatan persahabatan bersama dirinya seperti ini.

Sambil mengulum senyum, ia begitu ingat bagaimana menjalani hari-hari bersama pemuda pintar itu. Pertemuan yang dahulu membawanya melewati banyak hal. Kedua insan yang saling melengkapi itu akan terus seperti itu, sekarang dan selalu.

Dan kini, bukan senyum lagi yang menghiasi wajah cerah Yoga. Bibirnya terkatup hingga bergetar, ia menutup mata guna menahan sesak yang akan keluar. Tubuhnya sampai bergetar, ia yang selalu kuat di depan sang sahabat, ia yang selalu siap sedia kini ingin egois, karena pertahanannya runtuh. 

Yoga menoleh, melihat dari kaca luar. Bagai dejavu, ia mengerang tak terima karena lagi-lagi adegan yang sama terlintas di depan mata. Ia tak lagi sanggup menjadi sandaran, ia tak lagi sanggup menopang tubuh yang pernah kuat. Ia ingin menangis, meraung karena paham, raga dan hatinya tak siap kehilangan.

Jurnal Juna yang berada di tangan hampir saja akan rusak kalau Yoga tak ingat menutupnya. Padahal baru tadi melihat bagaimana sahabatnya tersenyum, tertawa dan kembali berbagi padanya. Nyatanya, kebahagiaan itu hanya sementara.

Kanker otak stadium akhir menjadi alasan kenapa kini Yoga betul-betul ingin egois dengan meruntuhkan pertahanannya. Melihat bagaimana dirinya hanya bisa berdiri di depan kaca sambil menatap nanar sang sahabat yang berjuang di dalam sana, tanpa ada satupun yang bisa ia lakukan. Dokter pun sudah angkat tangan, dan menggunakan pilihan terakhir, yang dimana Yoga tak siap menerimanya. Walau memang mereka begitu bekerja keras untuk mengembalikan kesadaran sang sahabat.

Diluar, Yoga bersama Amelia dan Josh hanya bisa berdoa. Dalam hati, mereka mencoba mengungkapkan harapannya. Yoga pun mencoba menyalurkan permohonannya, berharap Juna di dalam sana mendengar.

"Juna, dua list harapan mu belum terpenuhi, tunggu sebentar lagi,  aku mohon....."

◆◆◆◆◆

Mobil yang dikendarai Jeff berhenti di parkiran diikuti mobil Charles yang berisi Malvin serta Hendra.

Selesai memastikan kendaraan benar-benar terparkir, mereka berjalan bersama. Memasuki, ruangan dengan pintu kaca yang otomatis terbuka. Tampak tak terlalu banyak yang berlalu-lalang karena hari sudah terlalu larut, ditambah malam tahun baru ini—dipastikan banyak yang menghabiskan waktu bersama orang spesial—termasuk mereka.

Bau khas dari ruangan dengan dominasi putih tersebut bagai nostalgia masa lalu. Mereka bak dibawa kembali lagi pada kenangan dulu. 

"Selamat malam keluarga Dokter Jerian...." beberapa sapaan yang hampir sama terus terlontar setiap kali mereka melewati lorong.

"Wah, gak sabar. Nanti pasti bakalan selalu di sapa, selamat pagi, selamat siang, selamat malam Dokter Charles." yang paling kecil disitu menyeloteh ria, bahagia karena sedang ber angan-angan. Namun kebahagiaannya harus tertunda sementara karena Hendra menghadang ekspetasi Charles, "lulus dulu. Baru menghayal."

Jerian mengulum senyum tipis sambil menggeleng gemas, "Belum kok, aku belum sepenuhnya jadi Dokter. Kemarin baru kelulusan sekolah kedokterannya, masih harus menjalani beberapa praktek sebelum benar-benar resmi menjadi Dokter." Sela Jerian ditengah-tengah pergumulan kecil Hendra dan Charles, "para Perawat dan Dokter disini memang seperti itu, ramah...."

"Kamar kak Juna diruang berapa?"

Sambil terus berjalan, Jovan menoleh pada Jerian, berharap sebuah jawaban.

"Kamar kak Juna di lantai delapan. Papa yang kemarin meminta untuk kak Juna di pindahkan ke ruang khusus. Kak Juna tetap diurus oleh Dokter pada bidangnya, tapi tetap aku yang memantau. Walaupun masih baru, setidaknya bisa memberikan pertolongan pertama karena aku dan mama yang paling sering bersama kak Juna."

Pelukan Untuk JianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang