Pasir yang Menangis

89 25 0
                                    

Tema: Buat tema dengan setting Old West.

***

Aku sudah terbangun pagi-pagi, tidurku tidak nyenyak. Tubuhku sudah terbiasa tidur di atas kasur empuk, tidur dalam posisi duduk membuat leherku sakit, sangat tidak nyaman.

Aku ber-puh kesal, ingin pulang secepatnya. Saat kelopak mataku terkulai, aku melihat Amelia yang sudah berdiri sembari mengelus-elus Coco.

Tubuhku gerah, aku ingin segera membersihkan diri. Argh, aku tidak punya pakaian ganti. Amelia yang sepertinya tahu keresahanku langsung menyerahkan gaun putih dari tasnya. "Ini bajuku, aku punya tiga pasang."

"Oh iya, mandinya di sungai saja, ini sabunnya." Amelia menyerahkan sebatang balok yang berwarna putih.

Ahh, merepotkan, seandainya aku berada di rumah sekarang, aku bisa menikmati _shower_ panas, bukannya mandi di sungai.

Tidak ada pilihan lain, aku terpaksa membersihkan diri di sana. Saat aku sudah selesai, aku kembali ke gubuk lusuh itu dan mereka berdua sudah berbincang dengan santai.

"Ah, Cecilia, kamu sudah kembali, ayo duduk." Amelia langsung mempersilakanku duduk seakan-akan ini adalah rumahnya, gadis aneh.

"Kamu mau teh?" Althelia menyondorkan batok kelapa yang ternyata diisi dengan teh. "Tidak manis, tapi menyegarkan."

Benakku kembali teringat dengan cerita Amelia tentang Teh dari kota Merinfutur, teh kebahagiaan yang bisa membuat orang kecanduan akan kebahagiaan hingga akhirnya menjadi gila.

Amelia terkekeh-kekeh setelah memandangku. "Itu bukan teh dari kota Merinfutur, jangan takut."

Kenapa aku jadi percaya cerita yang seperti itu? Bukannya cerita yang Amelia kisahkan semuanya tidak masuk akal? Ugh, cerita itu menjadi racun di benakku.

Aku menyeruput teh itu, rasanya menyegarkan. Tidak ada rasa manis sama sekali, tapi rasa hangatnya begitu menyenangkan, membuat perasaanku lebih tenang.

"Jadi kamu sudah lama tinggal di sini?" Amelia bertanya sembari menyapu pandangan pada gubuk tua yang Althelia tempati.

Althelia menggelengkan kepalanya. "Baru seminggu."

"Jadi kamu ke mana selama ini?" tanya Amelia lagi.

"Aku berpindah-pindah tempat." Althelia berhenti sejenak untuk mengelus Coco. "Dan aku sampai di sini, gubuk ini tidak dihuni siapapun."

Amelia ber-oh ria, mengangguk mengerti. "Jadi kamu sudah pergi ke banyak tempat? Oh, dan juga tinggal di banyak tempat?"

Kepala Althelia mengangguk.

"Teh ini enak, kamu boleh menceritakan cerita yang sudah kamu dengar," ujar Amelia sejenak setelah menyeruputkan teh. "Kamu pasti sering mendengar cerita-cerita, 'kan?"

Althelia tersentak. Aku juga.

Hei, Amelia seharusnya membantuku mencari orang yang bisa membawaku pulang. Aku sudah mendengar 3-- bukan, aku sudah mendengar enam ceritanya, enam! Lebih dari perjanjian.

Aku memasang wajah cemberut, berharap Amelia nengerti tanda yang tengah kuberikan.

Amelia memandangku lalu dia mendekatkan mulutnya pada telingaku, hendak membisikkan sesuatu. "Dia sudah memberikan tempat tinggal. Orang seperti dia pasti punya cerita, kita tidak bisa membayarnya selain mendengarkan ceritanya."

Aku mendengus ringan, memangnya Althelia mau kami membayar kebaikannya dengan mendengarkan cerita, kalau dia mau dia juga—

"Kalian mau mendengarku bercerita?"

Cerita si Pengembara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang