Bunga di Dalam Tanah

33 16 0
                                    

Tema: Semalam di kamar motel di pinggir kota

***

Kami masih berada di meski malam--kesedihan Raja Aiden--telah tiba, tidak ada gubuk seperti yang ditinggali Althelia. Kami hanya makan apel sepanjang hari, aku jadi ingin makan ikan seperti tiga hari yang lalu.

"Kita berhenti di sini, kamu sudah kelihatan lelah." Amelia mencari daun di sekitar, langsung menggelarnya di atas tanah.

"Kenapa tidak ada yang satu orang pun yang tahu soal kota Shiviria?" Aku langsung melepaskan kelelahanku dengan mengeluh dan mengeluh lagi.

"Aku juga tidak tahu." Amelia ikut duduk di daun-daun yang sudah digelar di atas tanah. Kami cukup beruntung karena sering kali menemukan daun lebar yang kering.

"Apakah gadis berambut hitam itu memberikan petunjuk palsu?" Aku mulai berpikir mengenai kertas coklat kekuningan yang dijatuhkan oleh gadis yang aku tidak tahu namanya.

"Aku juga tidak tahu, mungkin iya, mungkin tidak."

"Ahh, aku bingung sekali, kenapa belum sampai-sampai? Sudah hampir seminggu." Aku mengacak-acak rambutku dengan frustasi.

Aku sudah lelah, benar-benar lelah, di mana letak kota Shiviria sebenarnya? Aku jadi ragu, jangan-jangan gadis itu hanya mempermainkan kami.

Aku mungkin harus menanyakan opini Ameliam. "Menurutmu, apa gadis itu mungkin saja sedang mempermainkan kita?"

"Kurasa tidak."

"Kenapa begitu?"

Dagu Amelia bertopang pada kedua lututnya, pupilnya mengerling. "Entahlah, kurasa dia orang baik yang sedang memberiku petunjuk. Dia kelihatannya baik, dan juga aku merasa nyaman saat melihatnya."

Aku setuju, gadis itu punya aura yang bisa membuat kami--yang melihatnya--merasa nyaman. Apa ada sesuatu di lota itu yang bisa memulangkanku? Apa sesuatu itu? Kenapa gadis itu tidak memberikan petunjuk lebih banyak?

"Kenapa gadis itu tidak langsung menunjukkan jalurnya, atau memandu kita untuk ke sana? Dia bahkan tidak berbicara, aneh." Aku memasang wajah cemberut lagi. "Belum lagi tiba-tiba hilang."

"Dunia ini penuh misteri, ini lebih baik daripada berjalan ke sembarang arah, tidak tahu mau ke mana." Amelia menepuk bahuku, mungkin sedang berusaha mereda rasa frustasiku.

Aku mengembuskan napas berat, seandainya masalahku bisa selesai hanya dengan mengeluarkan napas, aku akan langsung pulang.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa pulang, bagaimana kalau aku harus menatap di sini selamanya?" Punggungku bersandar pada batang pohon.

Amelia tersenyum kecil, dia menggeser tubuhnya, mendekat padaku. "Kamu akan pulang, percayalah. Dan kalau memang tidak bisa pulang, aku akan menemanimu, kita bisa berkeliling buana bersama-sama."

"Itu ide yang buruk." Aku ber-heh pelan sembari melontarkan tawa kecil. "Telingamu tidak sakit mendengarku mengeluh terus?"

"Sudah terbiasa." Amelia mengacungkan jempolnya dengan semangat. Aku memutar bola mata seraya tersenyum tipis, ada-ada saja.

"Kamu pernah berpergian jauh dari rumahmu atau kotamu?" tanya Amelia yang membuatku berpikir kerasa untuk mengorek memori lama.

"Um .... Pernah, dulu saat nenekku masih ada, dia sering mengajakku ke Danau Toba, tapi kami tidak tidur di hutan," aku melirik Amelia, "kami tinggal di motel."

"Motel?"

"Semacam tempat penginapan. Dan aku selalu berada di kamar motel, sendirian. Nenek sering ketemu dengan temannya di sana, dia sudah mengajakku untuk ikut jalan-jalan, hanya saja aku tidak mau," jelasku panjang lebar.

Cerita si Pengembara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang