Alunan Musik Dipatahkan

68 20 0
                                    

Valeria menyayangiku? batin Veleria sembari mengedarkan pandangan pada gadis bermata hijau itu. Batinnya kembali bertengkar, mempertanyakan kelakuannya selama ini. Apakah melakukan hal seperti ini benar? Apakah mengunci semua orang dan membuat mereka semua memohon itu benar?

Tombak itu raib dari tangannya. Veleria mengeluarkan suling yang ia taruh di balik jubah, indra penglihatannya menatap seruling putih dan ramuan penambah umur. Kalau saja dia tidak membunuh Valeria, dia mungkin saja bisa mendapatkan kasih sayang meski hanya dari adiknya, dia tidak perlu melakukan pelelangan seperti ini hanya demi perhatian.

Rasa dengki membuatnya buta. Veleria merapatkan giginya, amarah yang bergejolak tadi sudah mereda. Dari bawah, terlihat Valeria yang sudah mencetak senyuman di atas bibirnya. Lihatlah, kakaknya tidak jadi melempar tombak ke bawah. 

"Aku menyayangimu."Valeria kembali melontarkan kalimat itu.

Tatapan mata yang tulus, kenapa Veleria tidak mau membuka kabut kedengkian? Kenapa dia malah melabeli adiknya sama jahatnya dengan semua orang? Api rasa bersalah itu berkobar hebat dalam jiwanya, dia salah, semua yang dia lakukan tidak benar. Veleria bahkan sudah pernah membunuh orang.

Kerumunan warga tidak hilang, mereka semua menyaksikannya dan tidak ada yang berani berkomentar ataupun mengeluarkan suara.

'Tolong, kamu percaya padaku, ya." Amelia melontarkan kalimat ini. "A-aku pernah sepertimu, kedengkian tidak pernah membawaku ke jalan kebahagiaan."

Setelah lima tahun meraup rasa hormat dari penduduk, tidak ada yang berubah. Hampa, semuanya terasa hambar, bukan kasih sayang seperti itu yang Veleria benar-benar mau. 

Apa yang dikatakan Amelia benar. Veleria beranjak turun, kini kedua kaki telanjangnya menapak tanah. Rasa bersalah ini mendorongnya untuk berjalan ke sana, untuk meminta maaf pada Valeria. Kepalanya menunduk. Rasa bersalah mengerubungi hatinya.

Wajahnya menampilkan kesenduan, benar-benar mirip seperti wajah sendu Amelia kala itu. Amelia merindukan saudaranya, dan Veleria merasa bersalah karena telah berbuat sejahat ini.

Atma penuh dengki telah mereka bunuh. Jiwa itu perlahan pergi, terbang seperti kupu-kupu ketika hati kecil Valeria terbuka. Digenggamnya dengan erat seruling putih itu, kurasa dia memang harus membebaskan semua orang, meminta maaf kepada semua orang.

Veleria ingin memaki dirinya sendiri, usianya 26 tahun, tapi jiwanya tidak sedewasa itu. Kedengkian menutup semuanya dan dia harus menanggung semua dosa yang telah ia tampung.

Kalimat kedua sajak itu sudah terjadi, mereka memang berhasil membunuh atma penuh dengki, bukan, Gadis Gaib tidak mungkin meminta mereka untuk melenyapkan satu jiwa demi kepulangan Cecilia. Gadis Gaib tahu mereka berbeda, mereka tidak akan pernah mau mengambil jalan semacam itu, Gadis Gaib tidak akan membuat mereka sejahat itu.

"Ukh." Darah segar keluar dari mulut Amelia saat ia terbatuk, Veleria menghentikan langkahnya. Yulia--yang tadinya dalam posisi memanah--langsung menuju tempat Amelia yang masih memeluk Valeria.

"Amelia." Suara Cecilia serak. Dia tidak mau melihat teman seperjalanannya pergi, tidak, dia tidak ingin kehilangan teman berharganya. Teman yang sudah mendengar keluhannya setiap saat, teman yang senang bercerita.

Yulia tidak bersuara, mulutnya terkunci. Meski dia tidak menangis, ada rasa sakit yang terlukis pada wajahnya. Mereka baru bertemu beberapa jam yang lalu, tapi Amelia adalah anak yang baik, rasanya sayang kalau gadis seperti dia harus dijemput pulang.

"Tolong lakukan sesuatu!" Emosi cecilia tidak terkendali, peluh terus menerus mengalir dari pelipusnya. Frustasi, dia tidak mau merelakan Amelia. "Yang Mulia Veleria, tolong bantu aku!"

Cerita si Pengembara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang