BAB 11 JUPITER MENGAMBIL KESIMPULAN

102 21 0
                                    

Begitu tiba di rumah masing-masing, Jupiter serta kedua rekannya didamprat, karena tidak muncul pada waktunya untuk makan malam. Bibi Mathilda mengomel. Katanya, begitulah kalau anak tidak diberi kesibukan! Untung saat itu di TV muncul acara kegemarannya. Perhatian Bibi Mathilda langsung terpusat ke situ, sehingga lupa memberi tugas-tugas kerja tambahan untuk Jupiter. Pete sebenarnya sehabis makan malam disuruh memotong rumput halaman. Saat itu pertengahan musim panas, jadi sampai pukul delapan malam di luar masih cukup terang. Karena tidak jadi malam itu, ia disuruh ayahnya melakukan tugas itu begitu

bangun keesokan paginya. Jadi ketika Pete akhirnya masuk ke kantor Trio

Detektif, ternyata ia yang paling belakang muncul.

"Harus memotong rumput halaman dulu," kata Pete menjelaskan keterlambatannya. Ia tidak meneruskan, karena saat itu dilihatnya sikap kedua rekannya. Bob dan Jupiter duduk terhenyak menghadap meja. Bob nampak lesu sekali. Sedang Jupiter lemas.

"Tampang kalian kelihatannya seperti baru mendengar kabar ada kenalan baik yang mati!" kata Pete, lalu buru-buru menambahkan. "Tidak - aku cuma main-main saja! Jangan-jangan nanti benar-benar terjadi - Tapi ada apa sih?"

"Kita baru saja dipecat Mr. Marechal," kata Bob dengan sikap sedih. Jupiter mendesah.

"Baru beberapa menit yang lalu ia menelepon kemari. Ternyata ia diberi tahu oleh Profesor Carswell, tentang kejadian di pondok kemarin malam. Mr. Marechal mengatakan bahwa situasi yang dihadapi kini sudah menjadi sangat berbahaya - dan karenanya lebih baik jika polisi dihubungi.

Menurutnya, kita kini takkan mungkin bisa berbuat banyak lagi. Ia akan mengirimkan uang sekadarnya, sebagai imbalan atas jerih payah kita selama ini."

"Aduh," kata Pete, sambil menghenyakkan tubuh ke kursi. "Kegagalan kita

yang pertama."

"Padahal masih banyak hal-hal yang membingungkan," keluh Jupiter. "Yah -" kata Bob dengan murung, "kurasa kita harus tetap bingung saja." Jupiter mengangguk lambat-lambat. Setelah itu ia membisu. Matanya menerawang. Pete memperhatikan temannya itu.

"Jangan terburu menyerah, Bob," katanya. "Menurut perasaanku, Jupiter tidak menerima bahwa kita dipecat - apalagi tetap bingung. - Tapi jika kita masih meneruskan penyelidikan kita, jangan-jangan Mr. Marechal nanti marah, Jupe!"

"Bagaimana kita bisa meyakinkannya agar kita diizinkan terus?" tanya Bob.

"Kita harus menyadarkannya bahwa urusan ini bukan hanya apa yang diketahuinya saja - tapi lebih dari itu! Ini misteri, Bob! Kita harus bisa membuka matanya, bahwa kita satu-satunya yang mampu membongkar misteri ini!"

"Tidak tahu, ya," kata Pete sambil menggeleng. "Mungkin pendapat Mr. Marechal benar. Tidak banyak yang bisa kita jadikan pegangan, untuk melanjutkan penyelidikan."

"Siapa bilang?! Kita kan mengetahui kata-kata terakhir yang diucapkan

mendiang Joshua Cameron sebelum ia mati. Ditambah dengan hasil kesimpulan kita."

"Kesimpulan yang mana?" tanya Pete bingung. Jupiter menyodorkan badannya ke depan.

"Pertama, mendiang Joshua pasti memiliki sesuatu yang lebih berharga -

atau setidak-tidaknya lebih penting - dari dugaan kita. Kedua, mungkin lebih dari satu orang yang mengetahui hal itu. Ketiga, kedua puluh lukisan yang lenyap, ada sangkut-pautnya dengan rahasia itu. Dan keempat, kata- kata yang diucapkan Joshua sewaktu mengigau, sebenarnya merupakan pesan!"

Setelah itu remaja berwajah bulat itu menyandarkan punggungnya ke belakang.

"Sekarang kita tinggal menguraikan teka-teki kata-kata pesan mendiang Joshua Cameron! Itu jika kata-kata yang diucapkannya memang benar begitu."

(18) TRIO DETEKTIF : MISTERI RUMAH YANG MENGKERUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang