"Terkunci rapat?" seru Bob.
"Ya, jadi tidak mungkin bisa dimasuki orang! Dan dari dalam, tidak bisa ke luar," kata Mr. James. "Kalian ingin memeriksa studioku itu?" "Ya, Sir!" kata Pete.
Ketiga remaja itu mengikuti Mr. James. Mereka diajak ke luar dari rumah yang besar, melintasi pekarangan yang seakan-akan rimba, dan melewati macan tutul di dalam kandangnya. Studio pelukis itu ternyata juga merupakan bangunan dari batu, dengan jendela-jendela berterali kokoh serta dengan pintu dari besi. Sebelum masuk, Jupiter meneliti kunci pintu sebentar. Ternyata memang aman, tidak mungkin bisa diutik-utik. "Orang yang ahli pun pasti membutuhkan waktu sejam, sebelum bisa membukanya secara paksa," kata Mr. James mengomentari. "Lagi pula, di situ sama sekali tidak nampak tanda-tanda ada yang mengutik-utik."
Di dalam, Jupiter mula-mula meneliti engsel pintu. Juga tidak nampak bekas apa-apa di situ.
"Pintu masuk kemari cuma satu itu, Jupiter," kata Mr. James.
Ruang studio itu luas, dilengkapi dengan rak-rak untuk menaruh macam-
macam. Sinar matahari masuk lewat dua jendela dorong, serta sebuah jendela kaca besar di langit-langit. Kedua jendela dorong membuka ke arah dalam, dan sisi luarnya diamankan dengan terali yang kokoh. Sedang jendela yang di langit-langit sama sekali tidak bisa dibuka. Di dalam studio itu tidak ada alat penghangat ruangan. Sebuah kipas angin kecil terpasang pada lubang yang tinggi letaknya, pada dinding sebelah belakang. Dari kipas angin itu ada kabel listrik yang menghubungkannya dengan stop- kontak yang letaknya di dekat lantai. Lantai ruangan terbuat dari batu masif, tanpa ruang kolong di bawahnya. Baik di lantai maupun di dinding yang mana pun, sama sekali tidak ditemukan lubang atau rongga.
Ruangan itu memberikan kesan kekar, seperti benteng. Tidak ada jalan masuk ke luar yang lain, kecuali pintu besi yang hanya satu.
"Dan setiap malam, pintu itu selalu kukunci," kata Mr. James.
"Wah," kata Pete kagum. "Tapi mungkin juga barang-barang itu bergerak karena gempa. Di sini kan sering terjadi gempa bumi yang tidak begitu terasa."
"Tidak, Pete," bantah Mr. James. "Lukisan-lukisan itu tidak cuma bergerak
saja, tapi kutemukan di dalam celah penyimpanan yang keliru pada rak- rak."
"Rak-rak yang itu, Mr. James?" tanya Jupiter.
Ia menuding sebuah rak besar yang penuh dengan lukisan yang sudah selesai.
"Bukan - rak itu berisi lukisan-lukisanku," kata pelukis kenamaan itu. "Kanvas-kanvas yang kubeli di perusahaan waktu itu, kutaruh di rak yang sebelah sana."
Mr. James menunjuk ke sebuah rak yang lebih kecil. Kanvas-kanvas yang ada di situ kebanyakan masih polos, belum ada lukisannya. Jupiter melihat pinggiran dari dua lukisan Joshua Cameron yang terakhir.
"Bolehkah kami melihat kesemua lukisan itu, Mr. James?" tanya Jupiter. "Tentu saja! Tolong aku mengeluarkannya, Anak-anak."
Beberapa menit kemudian, kedua puluh lukisan itu sudah tersebar di
dalam studio, disandarkan ke dinding, serta rak-rak yang ada di situ. "Kenapa lukisan-lukisan ini Anda taruh di rak tempat kanvas-kanvas yang masih kosong, Mr. James?" tanya Jupiter.
"Karena kubeli untuk kulukisi dengan karyaku sendiri. Para pelukis banyak
yang punya kebiasaan begitu. Aku selalu mencari-cari kanvas yang sudah ada lukisannya. Minggu lalu untuk pertama kali aku secara untung- untungan saja mampir di perusahaan pamanmu. Siapa tahu, di situ ada lukisan-lukisan tua. Ternyata aku menjumpai kedua puluh lukisan ini." "Untuk Anda jadikan dasar bagi lukisan Anda sendiri?" kata Bob.
KAMU SEDANG MEMBACA
(18) TRIO DETEKTIF : MISTERI RUMAH YANG MENGKERUT
Science Fictionsaat kau berbalik kau tak menemukan rumah itu lagi, serius apa ada rumah seperti itu???? Text by William Arden alih bahasa oleh Agus Setiadi penerbit oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Februari 2001 edit and convert oleh inzomnia foto by goodreads and...