Why I Must Care?

206 45 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hamada-senpai?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hamada-senpai?


Jang Wonyoung?

Persis setelah membuka mata, dua nama itu bergantian memenuhi kepala. Hamada Asahi. Jang Wonyoung. Hamada Asahi. Jang Wonyoung. Salahkan sempitnya lingkar pertemanan Haruto, ia sama sekali tidak bisa menemukan satu pun kesamaan di antara keduanya, pun tahu Hamada Asahi saja tidak meski satu yang pasti dia seorang senior.

Di kasurnya, Haruto menggeliat sejenak guna menghindari sinar mentari lalu kembali ke dalam pikiran. Apa - apaan mimpi tadi? Jika ini ada hubungan dengan dunia nyata, apakah yang dikatakan Wonyoung benar? Perihal ... perihal ... apa, ya, sesuatu seperti tidak suka di Jepang karena ibu dan teman - temannya, Haruto tidak bisa memastikan.

Namun jika benar, apakah itu alasannya Jang Wonyoung jadi menyebalkan? Haruto tercenung. 

Kalau iya, pantas saja Haruto diteror mimpi.

Siswi yang mati-matian berjuang begitu dianggap tukang cari perhatian.

Masalahnya bukan itu sebetulnya. Mau menipu diri sekuat apa pun inti alasan dia tak mau bangkit dari kasur adalah dia baru saja mengobrol, membuat lelucon, dan mengelus rambut seorang gadis, yang mana ini suatu keberhasilan Watanabe Haruto terbaik seumur hidup. Hidungnya kembang - kempis bangga dengan bibir mengulum senyum. Tuh, kan, Haruto kalau di kamar memang senang ketawa - ketiwi sendirian.

Itu lah mengapa Takeru benar; Karma itu sungguh a--

"HARUTO, MAU SAMPAI KAPAN KAU TIDUR!"

Suara Okaa-san merobek hening. Kekagetan sontak menjatuhkan Haruto ke dunia nyata, kontan menengok jam di meja. "Sialan," makinya. Ditendangnya selimut sebelum melecutkan diri dari ranjang dan mengorbankan sarapan demi memangkas waktu ke sekolah.

Guru piket sudah siap menyerahkan 'penghargaan' pada para murid yang terlambat ketika Haruto menghela napas lega, berhasil menginjak ujung sepatu untuk berganti uwabakiㅡsendal ruangan. Pontang - panting berlari ke sekolah sama saja dengan memeras keringat dan Haruto sampai harus mengipas - ngipas kemeja saat memasukan ke getabakoㅡloker sepatu. 

Omong - omong, sepertinya Haruto satu - satunya siswa yang terlambat sebab yang terdengar cuma obrolan para siswi di deret getabako sebelah.

"Tumben sekali kamu terlambat."

Haruto terdiam ketika menyadari siapa pemilik suara selanjutnya. Ia mengintip pelan - pelan.

"Eh, iya? Maaf, aku terlambat tidur kemarin."

Wonyoung

Darah Haruto berdesir tatkala Wonyoung tampak persis seperti dalam mimpi, bukan ingatan. Seingatnya pipi Wonyoung penuh sampai - sampai senyumnya selalu tampak canggung. Itu kenangan di kelas sepuluh. Kelas sebelas barangkali memberi sedikit keberanian seorang senior untuk sedikit berdandan sehingga lebih manis.

Apa Haruto baru saja menganggap Wonyoung manis?

Tidak! Cowok tinggi itu bergidik ngeri, menyangkal pemikiran sendiri sampai wajahnya merona. Itu adalah opini objektif semua laki - laki, kalau tidak, tanya saja yang lain.

"Ah, begitu. Tidak biasanya ranking satu terlambat," kata entah-siapa.

"A-aku juga tahu. M-maaf, aku duluan, ya, Teman - teman."

Haruto cepat mundur sampai agak terhuyung ketika Wonyoung nyaris menuju arahnya. Sudah panik ketahuan, Wonyoung malah melewatinya begitu saja tanpa menoleh sejenak. Entah perasaan apa ini; lega karena tidak dilihat atau sedih karena tidak dianggap, yang pasti Haruto terpekur sejenak di tempat.

"Cie, perhatian banget sama si Wonyoung itu."

"Brengsek. Lihat mukanya saja bikin mual. Kok tahan, sih, mengobrol dengannya?"

"Tenang, kalau tidak menyapa kentara sekali kan. Akting lah yang baik!"

Bunyi pintu getabako ditutup menyentak Haruto dari keasikan menguping. Si Penguping kontan mematung menghadap getabako saat gerombolan anak perempuan itu melewatinya. Dan untungnya, sama seperti Wonyoung, tidak ada yang menganggapnya ada. Ekor mata Haruto tetap mengikuti sampai mereka hilang dari pandang.

"Dasar muka dua," decihnya. 

Tidak kah ia sama?

Mendadak dada Haruto dikerumuni rasa bersalah. Tak biasanya ia iba, terakhir ia merasa kasihan mungkin dalam mimpinya. Itu pun kalau Haruto ingat.
 
 

***
 
 

Tahu omongan Takeru mana yang benar?

Kazue benar - benar marah.

Detik terakhir sebelum sensei datang Kazue tak ada di tempat yang seharusnyaㅡdi samping Haruto. Baru sedetik duduk, ia mendapati Kazue sedang asik mengobrol di pojok depan ruangan, tempat dimana jumlah ganjil kelas menyisihkan seseorang dari meja genap. Dengan teman barunya.

Haruto menendang pelan kursi Kazue yang seharusnya. "Awas saja," sungutnya. Kendati demikian dia gelisah pada kekhawatiran seberapa lama dia akan ditinggal sendirian disini.

Di sekolah ini. []

Terima kasih sudah bertahan baca dan memberi apresiasi♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah bertahan baca dan memberi apresiasi♡

𝐓𝐨 𝐓𝐡𝐞 𝐅𝐮𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐘𝐨𝐮✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang