Haruto menyuapkan lagi bekalnya. Tidak makan malam artinya makan lebih banyak makan di jam istirahat, arti lainnya adalah semua pembicaraan lantas masuk telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri. Namun Kazue selalu punya cara untuk meletuskan gelembung fokus Haruto.
"Dia bilang, Jang Wonyoung enggak cantik."
"Eyy." Haruto melirik kesal pada Kazue.
Shota dan Takeru melempar tatapan tak percaya, mencari validasi di mata Haruto yang malah kembali pada kotak bekalnya. Saat beralih ke Kazue, ia mengangguk - angguk prihatin seakan baru menyatakan sebuah tragedi.
"Haruto ternyata memang suka sama cowok."
Shota menyuarakan konklusi tak terucap dengan Kazue dan Takeru. Haruto melotot dengan mulut penuh makanan.
Takeru mengangguk dramatis. "Iya. Enggak pernah ngobrol sama anak cewek."
"Kamu sukanya sama Kazue kan?"
"Kok aku?" Kazue merasa terdepak mendadak.
Haruto memutar bola matanya. "Ayolah, dia kan siswi yang tidak disukai banyak orang, kenapa kamu mikir dia cantik?" Dia diam sejenak untuk memastikan responnya netral sebelum melanjutkan. "Memangnya apa cantiknya dari siswi asing tukang cari perhatian seperti dia."
Kazue bertukar pandang dengan Shota dan Takeru. "Kalau cantik, kenapa tidak?"
"Kamu sendiri setuju dia jelek," kata Haruto, sewot.
"Tidak, aku cuma ingin membantahmu," kata Kazue. "Lihat saja dia sekarang, kamu pasti bakal berubah pikiran."
Dibukanya hp untuk berselancar di bagian pencarian di media sosial. Diketiknya semua kemungkinan nama, diselidiki semua akun yang diperkirakan teman dekat Jang Wonyoung.
Mata mereka berempat tertarik pada semua akun yang dicurigai, menebak - nebak yang mana akun gadis itu. Tidak ada yang tidak tahu Jang Wonyoung. Kepopulerannya bermula dari kehebohan ada gadis asal Korea Selatan menjadi murid di sekolah di kota kecil ini, tetapi ternyata, ada hal lain lagi. Beberapa, malah. Tinggi badannya menyeruak di antara para gadis, pun prestasi akademiknya meroket dalam dua tahun belakangan, menyalip banyak murid lokal yang tak sekali pun menganggapnya saingan.
Namun dalam ingatan Haruto, dia adalah gadis dengan Bahasa Jepangnya masih gagu. Meski ingatan itu ibarat sudah usang dan berdebu, meski Haruto tak yakin kapan ingatan Wonyoung bicara terpatah - patah itu terbentuk, tidak ada alasan untuk mengobrol apalagi menyukainya. Terlepas dari kemampuan sosialisasi Haruto yang agak memprihatinkan.
"Dia tidak punya media sosial." Shota menyimpulkan. Yang lain mengangguk.
"Sudah kubilang dia dikucilkan. Mana ada murid seperti dia punya media sosial pribadi," sahut Haruto santai.
Kazue bergerak tak nyaman. "Jangan terlalu jahat, Haruto," tegurnya. "Karma itu nyata."
Membiarkan pembicaraan menggantung, Haruto menyumpitkan isi bekal lagi setelah mendengus dan mengangkat bahu.
Saat ini topik beralih ke pengalaman Shota bermimpi buruk. Mimpinya seakan dirajut antara potongan film Saw, As The Gods Will, dan My Tomorrow, Your Yesterday. Dikejar pembunuh tapi malah bertemu seorang gadis, sudah begitu mereka harus berhadapan pada permainan gila demi mempertahankan cinta mereka. Semua campur aduk dalam satu waktu, tetapi berkat hadirnya orang yang disukai, Shota bisa mengingat poin - poinnya lebih jelas.
"Benar - benar mimpi," tukas Haruto. "Tidak nyambung."
Kendati demikian ia turut mengingat juga mimpinya semalam. Jejak - jejak yang tersisa hanya kabut perasaan 'berdebar' dimana saat itu sedang malam. Tak bisa mengumpulkan potongan - potongan itu menjadi utuh. Yang terasa di dada adalah rasa senang yang membikin tersipu, meski tak tahu mengapa.
"Eh, tunggu. Kamu bilang orang yang kamu sukai?" tanya Kazue, syok. Takeru hampir menyemburkan kunyahannya.
Sementara itu Shota sendiri menyikut Takeru untuk menyuruhnya diam, tetapi reaksi biologis tidak bisa berbohong. Wajah dan telinganya tidak mau berkoordinasi dengan usaha Shota menutupi rahasianya. Haruto melihat semburat rona merah itu lantas mendengus.
"Orangnya ada dari empat nama tadi?" tanya Haruto.
"Tidak! M-maksudku," Shota melirik kanan kiri. "Diam lah," bisiknya.
Haruto menyeringai. Kesalahan Shota adalah membuatnya merasa di atas angin. Kini cuma butuh observasi kecil dan keberanian segunung untuk membantu Shota mengakuinya. Merencanakannya sudah membuat Haruto seperti merencanakan sebuah kejahatan.
"Tenang lah Shota, Haruto tidak akan membocorkannya ke siapa pun. Ingat, dia saja tidak punya teman selain kita," tukas Kazue. Haruto kontan tersedak.
"Oyㅡ"
"Benar juga. Anti sosial seperti dia mana berani bicara dengan perempuan. Sia - sia aku khawatir tadi," timpal Shota, lega.
"Takeruㅡ"
"Benar, Haruto. Latihan dulu bicara dengan para gadis baru menjahili temanmu. Semangat! Kamu pasti bisa."
Tepukan Takeru di punggung terasa sampai menohok dada, menjatuhkannya ke kenyataan. Haruto tidak bisa terima, tetapi tak bisa juga menyanggah. Kebenaran ini terlalu berisik sampai Haruto tak bisa membungkamnya. Namun tak mungkin ia kalah debat dari temannya begitu saja. Ledekan hari ini akan dilemparkan pada mereka suatu hari nanti. []
Terima kasih sudah bertahan dan memberikan vote!♡
It really means a lot to me T___TAuthor note:
Gaya nulisku yang ini oke ga sih? :")
Btw, POVnya memang dua gini, tergantung mana mimpi dan kenyataan.See you on next chapter!♡
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐨 𝐓𝐡𝐞 𝐅𝐮𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐘𝐨𝐮✔
Fanfiction┆Dunia Watanabe Haruto mulai berubah saat siswi dari Korea Selatan itu membalas perasaannya di festival musim panas. Gadis itu adalah aktris utama mimpinya, tetapi bukan siapa - siapa di dunia nyata. Karenanya, hidup Haruto pun seakan terbelah; tak...