Chapter 14.

44 8 0
                                    

Feli mengajakku ke tempat pemakaman. Kami berdua sedang berdiri ditengah-tengah dua makam yang bersebelahan namun berjarak.
Feli berjongkok duluan, sedangkan aku masih berdiri karena bingung harus melakukan apa. Entah apa tujuan feli mengajakku kesini, aku masih belum tahu.

"Mereka berdua sahabat gue..." ucap feli. Kalimat yang dia ucapkan terasa berat.

Aku melihat batu nisan kedua makam itu. Bertuliskan Audy Yoelita dan Viona Chintya.

"Namanya.." gumamku ketika melihat nama Viona dibatu nisan itu.

"Iya, sama kayak lo." ucap feli. Feli menatapku dengan sendu.

Akupun ikut berjongkok menyamakan posisi feli.

"Hai.." sapaku kepada dua makam itu.

Feli tertawa kecil, "Foto yang lu liat.. Itu viona."

Aku terdiam, sedikit bingung, berharap feli menjelaskan lebih lanjut.

"Dia mantan pacar Rio saat SMA." lanjutnya.

Aku terkejut tanpa ekspresi.

"Intinya Rio dulu bucin sama dia hahaha.. Dan foto yang elo liat itu, dia viona." Ucap Feli.

Aku diam saja. Ternyata tujuan dia membawa ku kesini untuk menjawab pertanyaanku tentang foto itu.

"Boleh gue tanya sesuatu?" Tanyaku.

"boleh dong."

"Mereka berdua kenapa bisa.." pertanyaanku terputus ketika melihat air muka Feli berubah drastis.

Seperti sebuah luka yang dia tahan.

Apa seharusnya aku tidak menanyakan soal ini?

"Sorry fel.. Kalau gak mau jawab gak apa-apa—"

"Viona sakit kanker. Padahal waktu itu dokter bilang operasinya lancar dan sempat siuman. Tapi tuhan berkehendak lain.." Feli menarik napasnya dalam, "kalau audy, dia depresi. Akibat ditinggal viona, audy sempet buat kesalahan sama viona dan pengen menebusnya dengan lebih, tapi tuhan udah mengambil nyawa viona duluan."

"viona dan audy bersahabat jauh lebih lama dibanding gue. Makanya gue ngerti kenapa audy sampai segitunya saat kehilangan viona." Lanjut Feli.

--000--

Devan membuka dompetnya, terdapat sebuah foto yang dia selipkan didompetnya. Devan menatap foto itu dengan sendu, terdapat anak laki-laki kecil tersenyum senang dengan seorang perempuan yang masih muda merangkul bocah laki-laki disebelahnya.

Itu devan bersama ibunya.

Devan menatap fotonya. Ia sangat merindukan ibunya. Andai saja saat dahulu dia tidak merengek meminta dibuatkan roti kukus, mungkin ibunya masih hidup hingga sekarang.

Mari kita flashback sedikit tentang masa lalu devan.

Saat berumur 11 tahun, tepatnya pada malam kejadian itu, devan menginginkan sebuah roti kukus buatan ibunya. Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam, kebetulan bahan bahan membuat roti didapur telah habis.

"Devan.. Besok aja ya mama bikinin? Malam ini devan minum susu aja.." bujuk ibunya sembari mengelus puncak rambut putranya.

"gak mau! Devan mau roti kukus!" devan terus merengek kepada ibunya.

Aisha—ibunya devan—akhirnya mau tidak mau menuruti keinginan putranya itu. Dia pun nekat pergi keluar untuk membeli bahan-bahan roti kukus. Minimarket sedikit jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga aisha harus menggunakan mobil untuk sampai kesana.

The Cold Boy [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang