Chapter 11.

41 7 0
                                    

"Viona?" Ucap Rio, dia melebarkan selaput matanya ketika melihat diriku yang mematung sambil membawa minuman yang masih ditangan.

Aku berdehem setelah membuyarkan lamunanku, lalu berkata, "silahkan diminum, terimakasih. " setelah itu aku berjalan pergi.

Sebelum aku menjauh dari Rio, terdengar jelas sekali ia berkata, "Ayo kita bicara sehabis lo kerja, gue tunggu."

....

"Banyak banget pertanyaan di otak gue sekarang, tapi gue gak tahu harus nanya darimana.." Kata Rio. Kami sekarang sedang berada dihalte bus persimpangan dekat dengan Tempat aku bekerja.

Aku menyadarinya, baru kali ini Rio berkata lebih dari dua kalimat kepadaku. Entah harus aku apresiasi atau tidak, tetapi aku tidak akan munafik untuk berkata bahwa aku tidak senang.

"Gue dari dulu emang kerja disini.." kataku, semoga perkataan itu bisa menjawab salah satu pertanyaan yang ada di otak Rio.

"Kuliah gimana?" Tanya Rio.

"Sementara mungkin gak bisa, gue harus fokus kerja dulu." jawabku.

Rio mengernyitkan dahinya, "katanya dari dulu lo kerja.. Menurut gue kuliah bisa bisa aja tuh. Terus sekarang kenapa?"

Aku menghela napas, "gue butuh duit banyak. Kakak gue sakit."

"sakit? Kenapa?"

"Amandel dia parah, mau gak mau harus dioperasi. Tapi operasinya udah selesai, pihak rumah sakit ngasih gue kelonggaran waktu buat bayar selama dua bulan." jelasku.

"emang berapa biayanya?"

"22,4 juta. Gue ada tabungan 8 juta. Sejauh gue kerja udah dapet penghasilan 15 juta. Total 23 juta sekarang. Sedikit lagi gue bisa lunasin rumah sakit, tapi tunggakan kuliah pasti numpuk. Jadi gue harus fokus kerja dulu sementara." Jawabku.

Rio diam saja, dia menatap langit-langit malam dengan pandangan yang sulit aku tebak.

"Gue minta maaf.." Ucap Rio, lalu ia menyodorkan sebuah totebag kepadaku.

Aku menerimanya dengan raut wajah yang bingung.

"gue gak maksud nyogok.. Gue emang pengen minta maaf sekalian kasih ini. " Ucapnya. Matanya tidak beralih dari langit.

"oh.." aku membuka isi totebag itu. Lalu aku sedikit tercengang ketika melihat buku novel yang berada didalam tas tersebut. Ini kan.. Buku novel yang waktu itu ingin aku beli!

Bagaimana bisa Rio tahu bahwa buku ini adalah incaranku sebelum ada insiden kak Chelsea masuk rumah sakit?

"Ma.. Ma-makasih banyak.." Ucapku dengan lirih, saking senangnya rasanya aku ingin teriak yang sangat kencang, tetapi tentu saja aku tidak akan melakukan itu didepan Rio.

"Gue tahu mungkin permintaan maaf gue dan buku itu gak akan ngobatin omongan pedes gue waktu itu ke elu." Ujar Rio. Dan kali ini matanya meralih kepadaku.

Sepasang mata kami bertemu. Mata Rio yang tidak terlalu lebar namun mampu menatapku dengan hangat. Terlihat ketulusan tergambar jelas disana.

"Tapi yang lo harus tahu, gue tulus minta maaf.." katanya.

Aku tersenyum tipis, "maaf lo diterima."

-oO0Oo-

Rio kini tengah berada diruang kamar rumahnya. Ia membentangkan tubuhnya diatas kasur, menatap langit-langit atap kamarnya itu yang berwarna putih tulang. Rio menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar.

Rio masih ingat dengan alasan viona tidak masuk kuliah selama ini. Ah.. Rio masih tidak percaya atas apa yang ia lakukan pada viona tempo lalu.

"bisa-bisanya gue ngatain dia kayak gitu yang padahal lagi berjuang buat kehidupannya.." batin Rio.

Viona memang berbeda kehidupannya dengan Rio. Viona tidak mampu membeli barang-barang yang ia inginkan dengan mudah, viona harus mati-matian untuk mencari uang agar mendapatkan barang yang dia mau. Sedangkan Rio masih memiliki fasilitas baik yang diberikan orang tuanya.

Viona memang wanita yang kuat, ia mampu memikul beban itu untuk bertahan hidup didunia yang keji ini.

Rio menatap sekitar kamarnya, lalu tatapannya berhenti ketika melihat sebuah lemari sepatu berukuran sedang bertengger dipojok kamarnya. Beberapa sepatu milik Rio yang harganya cukup mahal dipajang disana.

Dengan gerakan cepat Rio mengambil ponselnya dan bangun dari posisi rebahan untuk menuju ke lemari sepatu itu. Lalu Rio mengeluarkan dua pasang sepatu dari sana, setelah dipajang sejajar dan rapih, Rio pun langsung membuka kamera ponselnya dan memotret kedua pasang sepatu itu.

Tanpa berpikir panjang, ia unggah foto itu di aplikasi belanja online. Benar, Rio ingin menjual sepatunya. Tidak perduli seberapa sayangnya Rio kepada sepatu itu, yang ia pikirkan sekarang hanyalah membantu Viona.

-oO0Oo-

Tidak terasa sudah hampir dua bulan aku bekerja secara Full-time di Bar ini. Rasanya cukup melelahkan. Aku sedikit lega karena bisa melunasi biaya rumah sakit walaupun biaya kuliah ku harus menunggak.

Setelah selesai bekerja pada hari ini aku keluar untuk segera pulang. Langkahku terhenti didepan Bar ini ketika melihat sesosok Alex sedang bersender dimobilnya. Dia tidak sendiri, Alex bersama Sopirnya yang berpakaian Jas serba hitam dan duduk dengan tenang dikursi kemudi.

Bagaimana bisa Alex tahu bahwa aku bekerja disini?

Wajah Alex terlihat merah sekali, ia tersenyum lebar ketika melihatku muncul didepannya, Dia mabuk berat.  Entah berapa banyak alkohol yang ia konsumsi, tapi yang aku yakin dia benar-benar mabuk sekarang.

Langkahnya tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. Setelah berada didekatku, ia menaruh kedua tangannya dipundakku secara tiba-tiba. Aku tersentak kaget. Lalu Alex tersenyum menyeringai. Bau alkohol dengan sangat jelas tercium dari Aroma mulutnya.

"Gue.. Perl.. Perlu.. Ngomong.. Hah.. Sama lu.." Ucap Alex dengan terbata-bata kepadaku, dia benar-benar mabuk.

Entah apa yang ingin ia bicarakan, tetapi sepertinya belakang ini banyak sekali orang yang mengunjungiku untuk berbincang sesuatu kepadaku.

Alex mengarahkanku ke dalam mobilnya. Setelah kami berdua masuk ke kursi belakang mobilnya, tanpa disuruh, sang sopir langsung keluar dan berdiri tepat disamping mobil Alex ini dengan posisi membelakangi kami.

Alex memang anak orang kaya, Aku tahu itu. Ia putra tunggal pewaris perusahaan LK group, salah satu perusahaan terbesar yang ada di indonesia.

"Kenapa.. Lama banget jawabnya..?" Tanya Alex dengan tertatih tatih.

"Ya? Jawab.. Ah.. Itu.." jawabku, yang dimaksud Alex adalah menjawab tawaran untuk berpacaran dengannya.

Alex memang mengajakku berpacaran sebelum insiden kakakku ini. Dan aku memang belum menjawab pertanyaan Alex itu karena disibuki oleh peristiwa ini.

"Tentang itu.. Maaf lex, gue nolak." kataku dengan hati-hati.

Lalu Alex tiba-tiba saja terkekeh kecil, "Berani-beraninya lo nolak gue, jalang?!"

Aku membulatkan mata. Dan pada malam ini, aku dikejutkan oleh sifat asli Alex.












***

Votee

The Cold Boy [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang