Matahari sudah berada di puncak langit kala Jimin membuka matanya setelah mabuk berat kemarin. Matanya menatap ke sekeliling, dia tersadar bahwa dirinya masih berada di rumah Jungkook dengan pakaian entah milik siapa dan juga perban di dahi kirinya.
Jimin bingung sekali, dia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Sayangnya, memori Jimin menghilang setelah dia hanya mampu mengingat bayangan dirinya meneguk wine dari botolnya langsung.
Jimin merutuki kebodohan dan kecerobohannya, sehingga membawanya kedalam masalah yang lebih besar.
Keadaan rumah sangat hening, Jimin bangkit dari sofa dengan susah payah. Dia mencoba menyeimbangkan tubuhnya sambil berjalan pelan menaiki anak tangga menuju kamar Jungkook.
Dibukanya pintu kamar itu perlahan, dia mendapati keadaan kamar yang sudah rapih dan kosong. Jimin mengernyitkan dahinya, sudah bingung semakin bingung saja dia kehilangan dua sahabatnya yang tidak berada di tempat terakhir mereka bersama.
Jimin tidak tahu harus menghubungi siapa, ponselnya juga tidak tahu ada dimana sekarang. Memang ada telepon rumah di sini, tapi dia sendiri tidak ingat nomor Jungkook ataupun Hoseok. Jangankan nomor mereka, nomor ponsel miliknya saja tidak ingat.
Jimin kemudian keluar dari kamar Jungkook, dia meraba-raba dinding sebagai tumpuan berniat kembali ke ruang tengah sembari mencoba menyadarkan diri seutuhnya.
"Kau sudah sadar?"
Jimin terdiam ketika merasa seseorang datang mendekatinya dari belakang, suara yang tidak asing itu adalah suara yang sama sekali tidak ingin Jimin dengar saat ini.
Dia tidak berani membalikan tubuhnya. Jika memungkinkan, Jimin ingin kabur saja dan bersumpah sampai dia tua nanti kalau dia tidak akan pernah mau berkunjung lagi ke rumah Jungkook.
"Jika aku bertanya kau harus menjawabnya."
Nada suara yang menyeramkan itu semakin membuat nyali Jimin menciut.
Langkah kaki berat terdengar mendekatinya, tiba-tiba tangannya ditarik paksa untuk ikut dengan Taehyung yang menyeretnya kasar.
Langkahnya masih sempoyongan, dunia Jimin masih bergoyang tidak jelas. Dengan pasrah dan susah payah, dia mengikuti langkah kaki Taehyung yang terkesan buru-buru.
Tubuhnya didorong sampai bokong Jimin mencium permukaan sofa dengan kasar. Kepalanya tertunduk ketika melihat lelaki gagah itu memandang tajam kearahnya.
"Kau adalah pengganggu paling menyebalkan yang pernah aku temui di dunia ini."
Taehyung murka, wajahnya memerah karena saking marahnya. Dia menarik nafas dalam, mencoba sedikit tenang dan mengontrol emosinya.
"Sekarang katakan! Cepat ceritakan padaku semua kejadian waktu itu ketika kau menyusup masuk ke kamarku."
Tatapan Taehyung seakan mampu menghunus jantung Jimin yang kini hanya bisa duduk ketakutan.
"A-aku bukan menyusup masuk, a-aku salah masuk kamar."
Jawab Jimin, terbata-bata dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar.
"Jawab yang benar!"
Taehyung menendang kaki sofa dengan sepatu kulit mahalnya, menciptakan suara dentum keras yang menggema di ruang tengah dimana hanya ada mereka berdua disana.
Jimin kaget sekali, dia masih sulit mengontrol dirinya sendiri karena efek alkohol. Dan sekarang dia malah kena marah, tanpa Jimin sadari kini dia sudah terisak dan menangis keras seperti anak kecil.
Tetapi Taehyung bukanlah lelaki yang mudah lunak hatinya hanya karena seseorang menangis didepan matanya sendiri. Hatinya yang sekeras batu itu sulit untuk dihancurkan, terlebih setelah kegagalan yang dia rasakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Om
FanfictionJimin pasti sudah gila karena jatuh cinta pada ayah sahabatnya sendiri. Note : Jika ditemukan perbedaan dengan cerita aslinya, harap mengerti karena gaya bahasa penulis satu sama lainnya berbeda. Terlebih cerita harus disesuaikan agar karakter yang...