15. /KEK ADA PAIT-PAITNYA/

1.6K 272 22
                                    

•••Karena mau bagaimanapun juga, yang sudah dibuang itu, tidak bisa dipungut lagi oleh orang yang sama•••

^^Author Savlora^^
.
.
.

Memasuki halaman rumahnya. Kedua cowok itu meneguk ludah saat melihat penampakan Thania dengan masker berwarna putih yang menempel di wajah, dia berdiri sambil bersedekap dada di depan pintu utama.

Berjalan menunduk, lengan Satria dan Febri saling menyenggol.

"Baru ingat pulang?" sinis Thania.

"Bunda telpon nggak diangkat, ke mana aja kalian berdua sampai nggak dengar bunyi telpon?"

Masih menunduk menatap lantai teras. "Tadi, pulang sekolah latihan futsal, Bun," jawab Satria, dia mengaku salah karena tidak mengabari bundanya.

"Terus ke mana lagi?"

"Apart Arvin, Tan," jawab Febri. Melirik sebentar ke arah Thania lalu menunduk lagi. Kakinya bergetar-getar gelisah, bukan takut, tapi saat ini dia sedang kebelet pipis!

Menghela nafas panjang, Thania membuka jalan agar kedua cowok itu bisa lewat. "Ya sudah, masuk! Lain kali kalau mau pulang lama, kabarin dulu orang rumah. Jangan tidak tahu-menahu, Bunda khawatir tau gak!"

"Iya, Bun, maaf."

Tetap menatap garang. "Sebagai hukuman, besok temani Bunda belanja. Titik!" kata Thania tegas. Di belakangnya ada Sandi yang kebetulan lewat, pria itu menggoyang-goyangkan bokongnya, bermaksud meledek Satria dan Febri karena berhasil dimarahi.

"Memori daun pisang la la la la la laaa," senandung Sandi sambil mengangkat dua tanganya di atas kepala, membentuk love dan berputar-putar layaknya seorang penari balet.

"Papah ngapain?" tanya Thania mengerutkan alis.

Sandi berhenti bergerak, dia berdehem kemudian menjawab, "Cuma senam aja kok." Pria itu langsung melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dapur.

"Papah mau bikin apa?"

"Kopi."

"Kita ikut!"

Satria menyusul sang ayah, sedangkan Febri lari berbelok ke arah toilet.

Thania geleng-geleng kepala melihatnya, dia mengendikkan bahu dan pergi ke ruang tamu, lebih baik menonton televisi sekaligus bersantai melepas penat setelah membereskan semua pekerjaan rumah yang berjumlah banyak.

Saat ini, Satria memperhatikan Febri yang sedang menyeduh air hangat. Semua gerak-gerik cowok itu tak lepas dari matanya. Mereka hanya berdua di sini karena Sandi baru saja pergi sejak lima menit yang lalu.

Sesaat kemudian, Febri meletakan segelas susu di atas meja makan. "Silakan minum Dedek. Semoga jadi anak pintar ya," ucapnya dengan wajah ceria. Dulu, Febri selalu merengek pada Satria agar mau memanggil dirinya abang. Namun Satria menolak mati-matian karena mereka masih seumuran.

"Be te we, hubungan lo sama Vlora itu gimana? Kayaknya tadi lo peduli banget pas liat dia luka."

Diam-diam Sandi menguping. Dia memasang lebar-lebar telinganya. Niatnya menaruh gelas kopi terurung ketika mendengar Febri bertanya tentang Vlora pada Satria.

"Cuma temen doang."

"Yakin deck?"

"Lo kalau emang suka sama dia, jujur aja," lanjut Febri.

"Gue nggak suka," bantah Satria.

"Tapi, gue sering liat lo ngobrol sama dia, masa nggak ada apa-apa gitu?" pancing Febri lagi.

"Gue ngobrol aja nggak lebih!"

Febri mendengus karena Satria yang keras kepala. "Menurut gue nih ye, mending lo sama dia ngobrol nggak jelas tapi statusnya pacaran, daripada lo ngobrol kek orang pacaran tapi statusnya nggak jelas."

😸😸😸

Jam menunjukan pukul sepuluh malam, cewek itu masih membuka mata selebar dunia hanya karena bertemu manusia yang sudah lama tak berjumpa.

Vlora tersenyum miris ketika mengingat kembali nama cowok yang ia temui beberapa menit lalu. Dia bukanlah sahabat, bukan juga mantan pacar. Tapi, cowok itu pernah menjadi gebetan Vlora selama masa SMP. Mungkin sekarang statusnya sudah menjadi—mantan gebetan saja.

Perjuangan Vlora agar bisa meluluhkan hati Saga sangat tidak mudah, bertahun-tahun Vlora menganggumi kakak kelasnya itu, hampir setiap hari dia memberikan hadiah dan bekal pada Saga, namun hanya kesia-sia'an yang ia rasa. Sampai suatu ketika, Saga membalas perasaannya, tapi alih-alih menerima, Vlora justru menolak. Mau bagaimanapun juga, yang sudah dibuang, tidak bisa dipungut lagi oleh orang yang sama.

"Lo telat menyadari perasaan lo sendiri Ga, mulai detik ini, jauh-jauh dari gue!"

"Ah—satu lagi, gue mau berterima kasih, karena lo—gue jadi tau bagaimana rasanya berjuang yang sesungguhnya."

Memukul-mukul bantal, Vlora mendesah berat. "Lupain! Lupainn, lo fokus ke Satria aja! Lupain dia, Vloraaa...lupainn!!"

Rambut yang tidak terkuncir pun menjadi berantakan. Cewek itu menoleh pada cermin panjang yang ada di sebelah kanannya. Terdiam sebentar. "Anjir, gue cakep banget," ucapnya terkagum-kagum.

Tidak perlu kalian tanyakan lagi, para cewek itu pasti berkaca untuk melihat penampilannya sendiri, bahkan banyak dari mereka rela membeli skincare yang berharga mahal supaya wajah mereka terlihat cantik. Dan ada juga sebagian yang insecure karena masih merasa burik.

Cowok-cowok jaman sekarang katanya tidak memandang fisik, tapi jika ada perempuan cantik tetap saja dilirik.
Bilangnya sih cari yang sifatnya baik. Tapi ada yang besar dikit tancap gas langsung naik.







•••Pisau menggores menjadi luka
Rasanya sakit dan juga perih
Cukuplah sekian cerita dari saya
Akhir kata terima kasih•••

18 February 2021

Sosiologi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang