𝕊𝔸𝕍𝕃𝕆ℝ𝔸
Namun hanya ingin mengembalikan orang asing itu seperti sedia kala.
Febri Ravindra^
.
.
.Sepulang dari acara perpisahan kelas 12, Febri mengundang teman-teman terdekatnya untuk makan-makan di rumahnya. Sebenarnya beberapa sudah pada kenyang, namun Febri hapal sekali kalo soal gratisan mereka tidak akan menolak.
Jadilah sekarang Valen mengipas-ngipas bara api, dibantu Opet, Raju, Arvin dan Satria yang anteng melihatnya.
"Gantian dong!" Valen berujar.
"Yaudah sini atuh," Raju segera mengiyakan, takut kalau-kalau Valen mengamuk lalu menagih uang kas-nya yang nunggak dua minggu.
"Tambahin baranya, Pet," pinta Raju.
"Oke bos," jawab sang empu.
Halaman rumah keluarga Ravindra cukup ramai, bahkan Ayah Febri--Fino--sedang mengobrol santai bersama Mahesa dan Gara yang kebetulan tidak sibuk.
Di teras rumah, Nenek Fitri sudah siap menata sate ayam yang akan dibakar, ada juga sosis, pentol serta daging-daging lainnya yang menjadi menu malam ini. Suci menelan saliva, ikutan bingung memilih yang mana.
Febri sendiri juga sudah selesai menyediakan segala jenis minuman. Febri menuang air ke dalam gelas, ia merasanya sangat bahagia karena melihat orang terdekatnya berkumpul seperti ini. Sayangnya, tidak ada dia di sini, dia yang biasanya selalu ada di sisinya, dia yang biasanya menemani hari-harinya, dia...ah sudahlah, dia tidak pantas diingat.
"Feb!"
"Kok ngelamun," tukas Vlora, menahan tangan Febri agar tidak memenuhi gelasnya.
Cowok itu terkesiap, "sorry," ujarnya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Lo kenapa?" tanya Vlora, duduk di samping cowok itu.
"Gak papa kok, cuma keinget Desty aja."
Vlora menipiskan bibirnya. Paham bagaimana keadaan Febri yang tidak mudah untuk melupakan kenangan selama dua tahun menjalin hubungan, sebenci apapun Febri pada Desty, nyatanya masih ada setitik harapan jauh di lubuk hati. Tapi Febri tetap Febri, cowok itu tetap pada pendiriannya yang tidak goyah, move one bukanlah hal yang paling sulit untuknya, hanya saja perlu waktu untuk dapat menyembuhkannya.
"Ra."
"Hm?" Vlora mendongak, memandang ribuan bintang di langit.
"Apa Satria baik sama lo? Dia gak aneh-aneh 'kan?" Febri tiba-tiba bertanya.
"Baik aja kok, kita sering belajar bareng juga," balas Vlora tidak ragu.
Febri mengangguk-angguk pelan, "kalo ada apa-apa, gue bakal selalu ada buat lo."
Febri tidak mau Vlora merasakan apa yang ia rasakan, begitu juga sebaliknya. Jadi Febri memastikan dua orang itu untuk saling menjaga.
Tangan Vlora tergerak mengacak-acak rambut Febri yang lama tidak dipotong itu, "iya, gak usah khawatir, gue percaya sama Satria," jawabnya, berusaha agar Febri percaya, agar cowok itu tidak terlalu banyak berpikir lagi.
"Gue juga percaya sama lo."
Keduanya asik bercerita kembali tentang masa-masa kecil, di selingi tawa yang cukup mengusir rasa sepi di hati Febri serta membuat rasa rindu pada adiknya terobati. Vlora itu juga adiknya, adik manis yang dulu selalu ia buat menangis.
Opet yang kena giliran jaga api refleks mengencangkan kipasannya. "Panas bro?" tuduhnya pada Satria yang tak lepas memandangi Febri dan Vlora yang tengah mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sosiologi Cinta
Teen Fiction#Frozen itu kartun, kalau friendzone itu kamu, awowkwk. . . . Menganggu Satria setiap hari di sekolah atau di luar sekolah sudah menjadi rutinitas bagi Vlora sejak berada di kelas sepuluh. Vlora juga melakukan berbagai macam cara agar bisa menakluk...