Chapter 19

1.2K 151 24
                                    

Apa yang bisa menggambarkan perasaan Jungkook sekarang? Tidak boleh menyerah, jangan lagi. Sekeras apa pun pria itu mencoba menutupi kekesalannya, Jungkook takkan bisa. Pada akhirnya, pria itu berubah lemah dengan bola matanya yang berkaca-kaca.

Sejak hari itu, Yuuhi mengacaukan semuanya. Mengacaukan semua yang hendak Jungkook perbaiki. Selama itu, Jungkook tidak melihat Aera. Entah di mana wanita itu bersembunyi, menjauh dan pergi dari hidupnya. Hal yang membuat Jungkook begitu hancur.

"Bagus. Kau memang putra kebanggaan Ibu." ujar Nyonya Jeon, tersenyum puas.

Jungkook menghela napas kelewat berat, menenangkan hatinya yang risau. "Sudah kan? Aku sudah memenuhi kemauan Ibu. Sekarang apalagi yang Ibu minta?" agaknya, kesabaran Jungkook habis.

Beberapa menit lalu, Nyonya Jeon memaksanya menggelar konferensi pers. Mengumumkan tanggal pertunangannya dengan Yuuhi. Tersenyum palsu seolah dia sangat senang. Padahal, Jungkook sangat tersiksa. Membenci dirinya sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa.

"Satu yang Ibu minta. Lupakan, Kim Aera selamanya."

Permintaan yang bahkan tak pernah Jungkook inginkan sama sekali. Jungkook tidak mungkin melupakan Aera.

*****

Sebenarnya, Taehyung merasa aneh, atau lebih tepatnya kebingungan melihat Aera setiap pagi mual dan muntah. Tiga hari berturut-turut juga napsu makannya berkurang. Sebegitu detailnya, Taehyung memperhatikan perubahan kecil yang terjadi. Makanya, Taehyung sering mengunjungi Aera ke apartemennya demi memastikan kesehatan si keras kepala itu.

"Kita ke dokter saja, oke? Wajahmu pucat sekali." Taehyung membujuk.

"Jangan berlebihan. Aku mungkin masuk angin biasa."

"Tapi, sayang—Aera kakimu!" Taehyung jelas terkejut, kala mendapati darah yang mengalir di betis Aera. "Sudah kubilang kan, masih keras kepala." buru-buru si Kim menggendong Aera, detik itu perasaannya seketika dihantui prasangka buruk.

Setelah sampai di rumah sakit, Taehyung kehabisan kata-kata. Wajahnya berubah pucat. Tak sanggup lagi, mendengar pernyataan Dokter yang duduk di hadapannya.

Dokter itu tersenyum, seraya menepuk pundak Taehyung. "Selamat, Tuan Kim. Kau akan menjadi seorang Ayah."

Kepalanya pening, tatapan matanya berubah kosong. Tidak mungkin, Aera tidak mungkin hamil. Berkali-kali, suara hati Taehyung berteriak. Sayang, ini adalah kenyataan yang harus ia terima. Bukan mimpi.

Taehyung tidak salah ingat, pria itu masih mengingat jelas kapan terakhir kali menyentuh Aera. Kepalanya bagai dihantam kayu. Taehyung tetap duduk di sana, mencoba menarik napas walaupun terasa amat sulit. Memejamkan matanya, pun jantung yang menyempit menyakitkan. Haruskah, Taehyung menerima kekalahannya?

*****

"Taehyung, dokter bilang apa?" Aera bertanya sangat lembut. Taehyung bahkan takut menghancurkan hati Aera. Dia tidak menyalahkan Aera. Semua terjadi, mungkin adalah takdir. Seberapa banyak, Taehyung menolak—dia tidak mampu melawan takdir yang telah ditetapkan.

Dalam hening, Taehyung melirik Aera yang duduk di kursi sebelahnya. Mereka hendak pulang, tetapi Taehyung belum tenang jika ia tak memberi tahu Aera.

"Kau hamil."

Dua kata yang terucap dari bibir Taehyung, serta helaan napas beratnya. Pun matanya tak sanggup berbohong lagi, memerah menahan diri agar tidak menjadi lemah.

"K-kenapa?" lirih Taehyung, suaranya bergetar. Aera pun sama, kedua bola mata itu menatap mata Taehyung menahan air matanya. "Padahal kau sudah berjanji padaku. Bukankah kita akan menikah? Lalu kenapa s-sekarang... Kenapa kau bisa hamil anak pria lain?!"

"Taehyung, aku..." Aera benar-benar sulit mengucapkan sepatah kata. "Aku tidak mungkin hamil!"

"Apanya yang tidak mungkin?! Dokter itu mengatakannya sendiri padaku!"

Air mata Aera menitik di pipinya, dia menangis, dadanya sakit sekali mendengar itu. "Taehyung, tolong jangan---,"

"Sudah cukup, aku mengerti." Taehyung menepis tangan Aera. Marah sekali. Dan mana mungkin, Taehyung menyalahkan Aera yang bahkan tak memercayai ini.

Taehyung tak pernah menyangka, jika Aera berkata seyakin itu padanya setelah keheningan menyapa.

"Aku takkan mempersulit siapa pun. Lebih baik kugugurkan saja. Lagi pula, Jungkook sudah menjadi milik oranglain."

*****

Karena belum memercayainya, Aera berniat memastikan sendiri. Membeli alat tes kehamilan, ketakutan menunggu—tangannya gemetaran. Sampai semua itu sungguh mengguncang batinnya. Terlihat sangat jelas, dua garis biru di sana.

Tubuh Aera lemas, seiring tubuhnya yang merosot turun—terduduk di lantai yang dingin, memeluk lututnya. Apa yang ada dipikirannya saat ini? Aera tak mampu berpikir jernih, begitu kacau hingga melihat pisau dapur yang terletak di dekat buah-buahan yang ada di meja.

"Maafkan aku... Aku sangat hancur." Aera menggores pergelangan tangannya tanpa berpikir panjang lagi, seketika menyemburkan darah segar.

Aera meringis nyeri, di sisa kesadarannya dan darah yang terus mengalir. Matanya menemukan Jungkook. Berpikir bahwa ia berhasil menghilangkan nyawanya, dan pergi ke surga.

"Noona! Ya tuhan, Aera noona! Kenapa kau melukai dirimu sendiri?!"

Suara Jungkook begitu khawatir. Ternyata, Jungkook sungguh ada di sini, pria itu baru saja tiba di apartemen Aera. Ingin meminta maaf, dan membawa buket bunga. Tentu, Jungkook curiga sebab Aera lama membuka pintu. Beruntungnya, Jungkook asal menebak kode apartemen Aera, adalah tanggal ulangtahun wanita yang terbaring lemah di atas pahanya.

"Jung—maaf..."

"Noona, aku yang harus meminta maaf!"

"Aku minta maaf, Jungkook."

Jungkook belum memproses apa yang terjadi. Bertanya-tanya tentang maaf yang terucap. Lalu semua terjawab saat matanya mendapati alat tes kehamilan, tergeletak di dekat Aera.

"Jangan banyak bicara, noona. Kita harus ke rumah sakit." diserang panik, tak ada waktu lagi mengambil test pack itu.

Kalau saja, Jungkook datang terlambat. Dia tak memaafkan dirinya sendiri. Menggendong, Aera yang jatuh pingsan dan menatap wajah pucat Aera.

"Tunggu aku, noona. Kita pasti bersama kembali. Pasti."

[]

Hey Come On Out ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang