7 - Angan

242 31 2
                                    

Bab VI: Angan

Angan (n) sesuatu yang mungkin sedang mati-matian kita kejar saat ini.

"Seringkali, kita tak menyadari kalau apa yang kita miliki saat ini adalah sesuatu yang begitu diimpikan oleh orang lain."

3400+ words!

Sean menghentikan langkahnya sejenak. Di depan gerbang sekolahnya yang megah itu, ia tertegun memandangi lalu-lalang kendaraan mewah yang masuk dan keluar setelah mengantar para siswa. Dalam hati, ia bersyukur karena jarak sekolahnya cukup dekat hingga ia tak perlu naik kendaraan, cukup ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 20 menit dari rumah.

Anak itu melanjutkan langkahnya dengan semangat. Sepanjang jalan, ia tak henti disuguhi oleh pemandangan yang memanjakan matanya. Bangunan sekolah barunya ini terlihat sangat megah dan terurus. Bisa bersekolah di tempat ini masih terasa bagai mimpi baginya yang hanya anak seorang buruh biasa, mengingat biaya pertahunnya yang mencapai ratusan juta rupiah. Ia masih tak menyangka, olimpiade sains yang ia ikuti semester lalu ternyata bisa menghantarkannya ke sekolahan ini.

Untuk setiap waktu yang telah ia habiskan untuk belajar dan latihan soal, ia sangat berterima kasih kepada dirinya sendiri. Lihat, bukankah ini akhirnya bisa terjadi karena semua usaha yang telah ia lakukan?

Ah, meski begitu ia tak boleh lupa, ia juga harus berterimakasih banyak kepada Bu Tiara, guru yang telah memberinya informasi untuk ikut tes beasiswa di sini.

Pertama-tama, ia harus menemuinya terlebih dahulu, 'kan? Sean ingin cepat-cepat memberitahu ibu itu kalau ia berhasil lolos. Sayangnya, sekolah ini terlalu luas dan ia bahkan belum hafal denah sekolah barunya ini.

Sambil mengikuti petunjuk yang ia lihat di ponselnya, Sean mencoba untuk mencari ruang guru.

Brak!

"Ah, maaf, gue gak sengaja."

Ponsel anak itu terlempar. Refleks, Sean berbalik ke arah orang yang baru saja ditabraknya secara tak sengaja itu. Sayangnya, anak yang ia tabrak tak menjawab dan malah memberinya tatapan penuh intimidasi. Tatapan Sean kini terkunci pada anak lelaki di hadapannya. Entah bagaimana, tiba-tiba saja ia jadi merinding.

Sean berusaha menghindari tatapan anak itu dengan buru-buru mengambil ponselnya yang terjatuh.

"Yah," Sean menghela napasnya dengan berat begitu mendapati kalau layar ponselnya ternyata retak. Anak itu mencoba menekan tombol power untuk menyalakan ponselnya, tetapi setelah beberapa kali mencoba, ponselnya tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mendadak, batinnya terasa cukup kacau.

Bagaimana ini? Baru saja Sean merasa bahagia karena bisa bersekolah di sini, mendadak ia jadi begitu sedih memikirkan ponselnya yang rusak. Anak itu tak henti merutuki kecerobohannya.

Ia kembali menatap anak yang masih berdiri di hadapannya. Perasaannya semakin tak enak ketika menyadari kalau orang-orang di sekitar ternyata menghentikan kegiatan mereka hanya untuk menatapnya. Baiklah, Sean tak bisa berbohong kalau sekarang jantungnya berdegup cukup kencang karena situasi ini. Dalam hati ia tak henti bertanya, SIAPA ANAK INI?!

Aura anak di hadapannya benar-benar terasa sangat dingin. Meski sama-sama mengenakan seragam sekolah, penampilan anak itu terlihat begitu berbeda darinya, bahkan dari yang lain. Hanya dengan melihatnya sekali, Sean yakin kalau anak ini bukan orang biasa. Namun, ada satu hal yang cukup mengganjal, wajahnya terlihat cukup familiar, di mana ia pernah melihatnya?

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang