Bab II: Kelemahan
Kelemahan (n) sesuatu yang membuat kita menyadari kalau kita tak selalu mampu untuk melakukan/mendapatkan hal yang kita inginkan.
"Salah satu sumber kelemahanku? Kamu."
⏳
Warning! 3.5K words
Leon menyimpan ponselnya untuk di-charge. Ia baru akan mengeluarkan buku-buku pelajaran hari ini dari dalam tas ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.
"Den Leon?"
Masih melanjutkan gerakan tangannya untuk mengeluarkan buku, anak itu menyahut, "Masuk aja."
Pak Yudha, assistant pribadinya, muncul dari balik pintu. "Sudah waktunya makan malam, ibu menunggu di bawah," ujarnya.
Leon memberi anggukan paham, ia mempercepat kegiatannya. "Sebentar lagi Leon turun," ucapnya sambil merapihkan meja.
"Baik, Den. Kalau begitu saya permisi," pamit Pak Yudha.
Begitu selesai membereskan buku-bukunya di atas meja, ia lanjut bergegas ke ruang makan.
Leon duduk berhadapan dengan Anna, ibundanya. Perempuan berdarah UK yang kini sudah menginjak usia 40 tahun itu nampak begitu anggun dengan blus berwarna hitam yang nampak kontras dengan kulit pucatnya.
"How was your day, Honey?" tanya wanita itu dengan penuh perhatian.
"I'm in danger," gumam Leon dengan dramatis. Ia masi cukup kecewa jika mengingatnya.
"Hey, what happened?" Anna kini melebarkan tatapannya dengan raut bingung dan khawatir.
"I've got C on math. " ujar Leon dengan wajah mendungnya. "Sorry, Mom."
"Hey, no need to feeling blue like that. Mommy tau kamu sudah berusaha. It's okay. Please, don't apologize, okay?" hibur Anna dengan penuh pengertian.
"What if I couldn't survive, Mom? I know that I'm not as smart as Dika, apalagi Raffa, but, Leon nggak mau pisah kelas dengan mereka," ungkap Leon dengan berat. Ia membicarakan tentang sistem kelas di sekolahnya yang pembagiannya didasarkan pada urutan peringkat secara paralel.
Anna kini berpindah posisi untuk duduk di samping putranya. Wanita itu mengusap bahu Leon dengan lembut, membiarkan anak semata wayangnya bersandar di pelukannya.
"Tidak pintar di salah satu pelajaran bukan berarti tidak pintar dalam segala hal. Cukup dengan melihat kamu bertanding di lapangan, Mommy bisa lihat kalau kamu sama pintarnya dengan mereka.
"Bagaimana jika nanti kamu jadi atlet? Pelajaran matematika itu tidak selalu kamu butuhkan di lapangan, kan?"
"But, Momm—"
"What are you worried about?
"Memangnya kamu disekolahkan untuk berkompetisi? No, mommy nggak akan marah kalau kamu dapat nilai kecil. It's okay. Yang terpenting, mommy tau kalau kamu sudah berusaha dan jujur.
"Kamu disekolahkan untuk memperoleh basic knowledge, including manners lesson, of course. Kamu memang diharuskan untuk berusaha mempelajari semua bidang yang diajarkan, tapi tidak diharuskan untuk menjadi ahli dalam semuanya.
"Kamu sudah berusaha. Bagi Mommy, itu sudah cukup sebagai bukti kalau kamu sebenarnya sudah berhasil dalam belajar.
"Kalau kamu masih khawatir, nanti kita atur jadwal untuk konsultasikan lagi bagaimana cara belajar yang efektif dengan tutor, ya? Kita cari solusinya sama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
Teen FictionReynandhita spin-off [On-Going] Raffa Putra Nandathama. Begitu mendengar namanya, tak akan ada yang menyanggah anggapan bahwa anak itu terlahir dengan kehidupan yang sempurna. Bagaimana tidak? Tak hanya diberi anugerah paras dan kecerdasan di atas r...