Bab XIII: Senyum
Senyum (n) sesuatu yang kadang lebih mudah untuk kita berikan daripada harus repot menjelaskan sesuatu.
⏳
Warning! 3300+ words
"Bapak nggak usah kerja, ya, hari ini," pinta Sean, melihat kondisi ayahnya, ia bahkan tak yakin ayahnya kuat untuk berdiri dalam waktu yang cukup lama.
Dengan sekuat tenaga, Adam berusaha untuk bangun. Mau tak mau, Sean membantu pria itu untuk duduk. "Kalau bapak nggak berangkat, hari ini kita nggak dapat uang," ujar Adam dengan berat.
"Tapi Bapak lagi sakit," kecam Sean. "Bapak istirahat aja dulu, jangan banyak pikiran. Uang saku dari sekolah Sean cukup, kok, untuk beli makanan," ujarnya.
"Tadi Sean udah masakin nasi goreng buat Bapak, jangan lupa dimakan, ya," pintanya sambil pandangannya menunjuk ke arah makanan dan segelas air yang telah disimpan di samping tempat tidur ayahnya. Adam melihatnya dan memberi anggukan.
"Sean berangkat sekolah dulu ya, Pak. Kalau Bapak butuh sesuatu, telepon Sean," pamitnya.
Adam memberi anggukan, ia akhirnya sadar kalau kondisinya tak memungkinkan untuk berangkat kerja. "Hati-hati," pesannya.
□□□
"Bapak kamu ada, Sean?" tanya seorang ibu saat Sean baru saja melangkah keluar dari rumahnya, tangannya menenteng sepasang sepatu untuk dipakai ke sekolah.
"Ada, Bu. Ada apa, ya?" tanyanya.
"Boleh panggilin nggak? Saya ada perlu sama Pak Adam," ujar ibu itu.
"Bapak saya lagi kurang enak badan. Kalau boleh tau, ada perlu apa, ya? Nanti biar saya yang sampaikan," ujar Sean setelah menimbang sejenak.
Melihat Sean, ibu itu jadi agak ragu untuk memberitahu. "Maaf ya, Sean, saya sebenarnya mau nagih uang kontrakan karena bapak kamu udah nunggak empat bulan. Karena saya juga butuh uang, saya terpaksa nagih begini, apalagi banyak yang nanya-nanya kontrakan kosong, kalau nggak cepat dibayar mungkin bakal saya kasih ke orang. Tolong bilangin bapak kamu, ya," ujar Ibu itu, meski agak tak enak.
Mendengarnya, Sean jadi merasa begitu sesak. Ia tak pernah mengira kalau kondisi keuangan keluarganya benar-benar memprihatinkan seperti ini. "Ah, begitu. Tolong jangan dikasih ke orang dulu ya, Bu. Maaf, tapi sebelumnya saya boleh tau berapa kira-kira totalnya?" tanya Sean.
Ibu itu menjawab dengan menunjukkan hasil hitung kalkulator di layar ponselnya. Sean hanya bisa menelan ludahnya saat melihat besarnya digit angka di sana.
"Kalau dicicil boleh, Bu?" tanya Sean.
Karena merasa kasihan, ibu itu memberi anggukan. "Tapi kalau bisa bulan depan harus udah beres, ya? Tolong sampaikan ke bapak kamu," pintanya.
"Iya, Bu, saya usahain bulan depan udah ada," ujar Sean. "Terima kasih banyak ya, Bu."
🦋🦋🦋
"Lo kenapa?"
Ditanya seperti itu oleh Leon, Sean hanya bisa memberi gelengan. Ia tak mungkin mengatakan kalau mendadak perasaannya jadi sedih karena bisa makan dengan enak di sini, sementara ayahnya di rumah tengah sakit dan belum bisa berobat sama sekali.
Bebannya jadi bertambah setelah mengetahui kalau sisa uang saku sekolahnya yang ia kira sangat besar itu ternyata tak cukup untuk membayar total biaya kontrakan yang belum dilunasi. Padahal, niatnya uang itu ingin ia tabung untuk membeli ponsel baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
Teen FictionReynandhita spin-off [On-Going] Raffa Putra Nandathama. Begitu mendengar namanya, tak akan ada yang menyanggah anggapan bahwa anak itu terlahir dengan kehidupan yang sempurna. Bagaimana tidak? Tak hanya diberi anugerah paras dan kecerdasan di atas r...