Bab XII: Kebenaran
Kebenaran (n) hal yang tak bisa kamu tolak, meski ingin.
⏳
Warning! 2700+ words
"Aden!"
Pak Bimo memekik kencang begitu melihat Reynand terjatuh, segera berusaha mengejarnya. Batinnya semakin bertambah tak tenang begitu melihat bagaimana keadaan anak itu saat ini. Tak hanya meringis kesakitan, anak yang kini tengah berada dalam pangkuannya itu terlihat tak dapat menahan air matanya untuk tak jatuh. Namun, karena merasa tak punya cukup waktu, ia menahan pertanyaannya dan segera menghubungi yang lain agar Reynand bisa segera ditangani.
Anak itu sadar kalau kondisinya saat ini ia telah membuat orang kepercayaannya khawatir, tapi kali ini ia benar-benar tak bisa menahan reaksi tubuhnya. Rasa sakit itu, Reynand bahkan tak bisa membedakan mana yang lebih terasa kuat antara sakit hati atau sakit pada bagian jantungnya.
"Ayah," gumam Reynand. Berkali-kali, ia memanggil ayahnya dengan lirih dalam perjalanan ke rumah sakit.
Dengan perasaan yang ikut berantakan, Pak Bimo yang kini tengah menemani di sampingnya hanya bisa berusaha menenangkan, ia menarik tangan Reynand, berusaha menyalurkan kehangatan seperti yang biasanya Gio berikan, berharap Reynand dapat merasa lebih tenang.
"Tunggu sebentar ya, Den. Tuan sudah dalam perjalanan, kita akan bertemu beliau di sana," ujar Pak Bimo dengan lembut.
■■■
Flashback mode: On
Reynand menatap layar komputer di hadapannya dengan penuh tanya, mendadak napasnya jadi terasa sesak begitu membaca email balasan yang baru saja ia dapatkan dari salah satu mantan karyawan di perusahaan ayahnya. Berkali-kali, anak itu terbatuk karena rasa sesak yang tiba-tiba menahan napasnya.
Ia tak salah baca, pertanyaannya dijawab dengan pengakuan dari orang itu. Reynand bahkan dipersilahkan jika ingin bertemu dan bertanya secara langsung. Tanpa mempedulikan kondisinya, Reynand beranjak dari tempat duduknya setelah mematikan komputer, bergegas mengambil kunci kendaraan yang paling sering dipakainya.
"Aden mau ke mana?" Pak Bimo membuat Reynand menghentikan langkahnya.
Sesaat, Reynand hanya bisa terdiam. Selain karena ia sadar kalau napasnya masih tersenggal, ia juga masih belum yakin untuk memberitahu Pak Bimo. "Den?" cecar Pak Bimo, berusaha mencaritahu.
Dengan berat, Reynand menghela napasnya. "Saya mau pergi sebentar," jawabnya.
Melihat wajah Reynand yang cukup pucat, Pak Bimo tak berani membiarkannya pergi sendiri dalam kondisi seperti ini.
"Baik, biar saya antar," ujar Pak Bimo, berharap Reynand membiarkannya ikut.
"Nggak perlu, saya sendiri aja," tolak Reynand.
"Saya khawatir ada apa-apa di jalan, apalagi Aden baru saja baikan. Saya antar saja, ya?" ujar Pak Bimo, masih berusaha membujuk Reynand.
Dengan berat hati, Reynand akhirnya memberi anggukan. "Tapi-," Reynand menggantung kalimatnya.
"Apa itu, Den?"
"Tolong jangan bilang dulu sama ayah," pinta Reynand.
"Baik, Den."
■■■
"Iya, saya mengetahui penyebab kecelakaan itu karena saya hampir terlibat langsung di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
Teen FictionReynandhita spin-off [On-Going] Raffa Putra Nandathama. Begitu mendengar namanya, tak akan ada yang menyanggah anggapan bahwa anak itu terlahir dengan kehidupan yang sempurna. Bagaimana tidak? Tak hanya diberi anugerah paras dan kecerdasan di atas r...