CHAPTER 9_A STORY BETWEEN A CUP OF TEA

747 130 7
                                    

Love and Hope masih belum buka selepas Hermione menandatangani kontrak dengan Blaise beberapa hari lalu. Ia memang tengah berada di bangunan yang terletak di Hogsmeade itu, tetapi hanya duduk di depan komputernya saja. Bersama beberapa potongan Daily Prophet, foto yang diambilnya sendiri, dan juga catatan wawancaranya dengan Draco Malfoy kemarin. Tentu saja, kejadian di restoran Italia dekat Metro Bank tidak akan pernah ia cantumkan.

"Draco Lucius Malfoy, kembali setelah bersembunyi lima tahun lalu," gumam Hermione seraya membaca sebaris judul besar Daily Prophet. Salah satu arsip yang berhasil ia dapatkan. Musim dingin tiga tahun lalu. Sudut bibirnya tiba-tiba melengkung.

Foto bergerak Draco yang sedang keluar dari salah satu toko di Hogsmeade terpampang di sana. Sosok yang selama tahun terakhir mereka di Hogwarts agak lebih terlihat sebagai manusia. Kejatuhan Malfoy, begitulah yang diberitakan media selepas peperangan. Yah, mereka memang benar-benar jatuh. Sebenarnya bukan hanya mereka, tetapi menilik peran besar Lucius, Malfoy menjadi sorotan utama.

Hermione bukan tidak pernah membaca berita tentang keluarga Malfoy selama beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja ia membacanya. Mendapati wajah Draco dalam setiap kesempatan ketika pemuda itu kembali ke Inggris. Kemudian membangun Malfoy Corp sampai hari ketika Narcissa datang ke tempat ini. Wanita itu sudah selesai menjadi tahanan rumah.

"Miss Granger?" sapanya kala itu.

Melihat Narcissa tersenyum ramah, Hermione tidak menampik bahwa ia sedikit curiga. Mereka tidak pernah bertemu, ya, well kecuali di masa-masa kelam itu. Bahkan Narcissa tidak datang ketika hari kelulusan tiba. Namun, ia melihat wanita itu datang sendiri ke tempatnya. Love and Hope Bookshop di Hogsmeade. Dengan senyum ramah yang entah mengapa membuat perutnya mulas.

"Selamat siang, Mrs. Malfoy."

Narcissa tidak tampak kikuk kala bertemu dengannya. Berbeda sekali dengan Hermione yang berusaha agar tetap bisa bernapas normal. Ia sedang tidak ingin mendengar seseorang -pureblood, mantan pelahap maut, ibu Draco Malfoy, Nyonya Malfoy, dan seseorang yang tidak pernah menyapanya-datang ke tempat ini dan mengatakan beberapa hal buruk. Namun, yang didengar Hermione cukup membuatnya bersalah. Narcissa tidak berniat buruk, ia lah yang justru berburuk sangka.

"Apa aku bisa melihat koleksi fiksimu, Miss Granger?"

"Tentu saja, Mrs. Malfoy," Hermione keluar dari meja kasir. Ia berdeham beberapa kali sebelum berani membalas tatapan Narcissa. "Silakan ikuti aku."

Hermione membawanya ke bagian buku fiksi yang terletak di pojokan toko. Tak jauh dari ruangan tempatnya bekerja, berupa sebuah meja yang dilengkapi komputer muggle dan rak buku kecil untuk dirinya sendiri. Gadis itu luput menemukan Narcissa yang mengamati ruangannya sekejap. Sibuk menjelaskan tentang rak fiksi yang kebanyakan berisi novel-novel karangan muggle.

"Draco membawa pulang beberapa buku muggle," Narcissa mengambil satu buku. "The Lord of the Rings?"

"Buku itu sangat terkenal di dunia muggle, kisah fantasinya benar-benar luar biasa. The Lord of the Rings sudah diangkat menjadi film belum lama ini."

"Kalau begitu, aku mengambil yang ini."

"Apakah Anda tidak ingin membaca dua bukunya yang lain juga, Mrs. Malfoy?"

"Apakah ini series?"

"Trilogi," Hermione sigap mengambil buku kedua dan ketiga dari trilogi tersohor karya Tolkien itu. "The Two Towers dan The Return of the King."

Narcissa menyambut usulan Hermione dan membawa tiga fiksi muggle itu pergi. Hermione teringat, ia memperhatikan punggung wanita itu di balik jendela besar Love and Hope. Sebelum kemudian berbelok entah ke mana. Hampir-hampir tidak percaya bahwa dirinya baru saja mengobrol dengan salah satu orang yang paling tidak mungkin datang ke tempat ini. Narcissa Malfoy baru membeli buku muggle dari toko buku paling muggle milik seorang muggle di Hogsmeade. Ia tiba-tiba meringis.

Narcissa tetap kembali dua minggu kemudian. Wanita itu masih sama, menyapa dan tersenyum ramah. Hermione sudah lebih baik sekarang. Ya, setidaknya ia tidak harus mempersiapkan diri sebelum membalas tatapan Narcissa. Yang jika diperhatikan, wanita itu memiliki tatapan teduh. Jauh berbeda dengan Narcissa yang ia temui di Malfoy Manor bertahun-tahun silam. Tahun-tahun kelam.

"Aku sudah membaca ketiga bukunya sekaligus, Lucius sampai mengatakan bahwa aku mulai ketularan Draco," Narcissa menyesap teh yang baru disajikan oleh Hermione. "Apa yang kau punya lagi?"

Giliran Hermione yang terkekeh. Ia mengambil beberapa buku Jane Austen yang ada di rak fiksi. Tiga buku sastrawan Inggris yang juga tersohor di dunia muggle. "Sense and Sensibility, Pride and Prejudice, dan Mansfield Park."

"Apa ini sama dengan yang kemarin kubaca?"

"Tidak, Mrs. Malfoy. Ketiga buku ini dikarang oleh seorang penulis perempuan dari Inggris. Austen lebih banyak mengkritik tentang hierarki perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Menurutku ia seperti ... pejuang untuk feminisme?" Hermione tersenyum ketika melihat Pride and Prejudice menarik perhatikan Narcissa. "Aku suka pemikirannya."

Seperti kejadian dua minggu lalu, Narcissa kembali membawa pulang ketiga buku yang disarankan oleh Hermione. Seminggu kemudian, ia datang lagi ke tempat ini. Bercerita panjang lebar mengenai Elizabeth Bennet, Dashwood bersaudara, dan juga tentang Jane Austen. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Narcissa akan datang ke tempat ini, kemudian meminta rekomendasi buku, dan Hermione akan memilihkan buku untuknya selepas menyajikan teh.

Bahkan sampai ketika ia menandatangani kontrak dengan Blaise, Narcissa semakin bertambah ramah kepadanya. Walaupun, karena Love and Hope tutup untuk beberapa lama, mereka menjadi jarang untuk bertemu. Kecuali beberapa kesempatan kecil di kantor Malfoy Corp, itu pun Draco selalu meminta kepada Narcissa untuk kembali. Dengan alasan pekerjaan, tentu saja.

Gadis itu baru tersadar dari lamunannya selepas mendengar suara lonceng pintu tokonya berbunyi. Harry Potter muncul di ambang pintu dengan sikap gugup yang kentara jelas. Berbeda jauh dengan Hermione yang langsung berlari menghampirinya. Memeluk sahabatnya itu dengan erat.

"I miss you, Harry."

Ginny benar, aku memang terkadang menjadi pengecut. "Maafkan aku, 'Mione."

Mereka berdua duduk di antara dua cangkir teh yang telah tersaji. Hermione berbicara panjang lebar, atau lebih tepatnya mengomel panjang lebar tentang Harry belakangan ini. Terlebih karena pemuda itu selalu menyuruh Ginny untuk menemuinya. "Kau tahu, Harry, aku tidak pernah marah denganmu."

"Aku terlalu malu untuk menemuimu, Hermione. Semua yang telah Ron lakukan, aku sudah tahu sejak lama."

Hermione mengembuskan napas panjang. Ia memang agak terkhianati di sini. Bukan karena ucapan 'semua yang telah Ron lakukan'. Baginya, apapun yang dilakukan Ron sudah ia lupakan semenjak lama. Hermione pun sudah siap untuk kehilangan 'sang kekasih' kapanpun. Namun, ia tidak pernah siap untuk kehilangan dua sahabat karib.

"Harry, kau dan Ron begitu berarti untukku. Kalian sahabatku."

"Kenapa kau bisa memaafkan Ron begitu mudah, Hermione? Dia berselingkuh! Dia dan Brown bahkan sudah bertunangan dan akan menikah. Kau sudah tahu, kan?"

"Aku juga menjadi penyebab Ron berselingkuh, Harry."

"Apa karena kau tidak pernah mencintainya?" tanya Harry pelan. Ia menyandarkan punggung begitu melihat ekspresi Hermione. Perkiraannya tepat.

Hermione menyesap tehnya. "Aku sudah mencoba, Harry. Tapi, tapi aku-" Tapi aku jatuh cinta dengan orang lain.

[To be Continued_Chapter 10: Muggle and My Girl]

[END] THE GHOSTWRITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang