CHAPTER 18_YOU SHOULDN'T LOVE ME

753 133 6
                                    

Draco mengunci ruangannya begitu ia kembali sampai di kantor Malfoy Corp. Ia memilih merebahkan diri selepas melonggarkan kemejanya. Memandangi langit-langit bercat putih gading yang kini samar-samar terlihat redup. Wajar saja, langit sudah menunjukkan tanda-tanda menuju malam. Terbukti dengan warna jingga yang mulai menyemburat. Memaksa masuk melalui celah-celah jendela yang tidak tertutup korden berwarna abu-abu di ruangan ini.

Beberapa kali terdengar embusan napas berat darinya. Tepat selepas bayang-bayang Hermione kembali terbayang, ah, juga Harry Potter tentu saja. Dua orang yang tidak menyadari kehadirannya di balik pintu Love and Hope Bookshop. Namun, berhasil membuat Draco memilih untuk merebahkan diri alih-alih kembali tenggelam dengan pekerjaannya.

"Draco, are you there!" Blaise berteriak bersamaan dengan suara gedoran pintu. Draco masih bertahan dengan posisinya walaupun suara gedoran pintu semakin terdengar keras. Akhirnya, selepas membiarkan Blaise mengatakan kata-kata bodoh, ia mengayunkan tongkat. Seketika, pemuda berkulit tan itu berhasil masuk. Tak lupa dengan ekspresi kesal yang nampak jelas.

"Beruntung jam kerja sudah selesai!" Blaise berkacak pinggang. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat penampilan sahabatnya itu. Sosok berambut pirang yang nampak tidak tertarik untuk meresponnya. "Mate, apa benar ini kau?"

"Diamlah, Zabini," timpal Draco lemah.

Blaise menutup pintu di belakangnya. Sebelum lantas duduk di kursi sofa di depan Draco. Bukannya ia tidak tahu dengan permasalahan yang menimpa sahabatnya itu. Ya, kalau sesuatu-yang-baru-saja-didengarnya-dari-Ginny-Potter pantas disebut sebagai 'permasalahan'. Tentu hanya orang kurang waras yang menyebut 'itu' sebagai masalah. Dan, sayang sekali, Draco adalah si Orang Kurang Waras tersebut.

"Come on, mate! Sampai kapan kau akan murung?"

"Aku tidak murung, aku hanya butuh waktu untuk sendiri." Draco masih menimpalinya dengan lemah.

Blaise mendengus. Ia memilih untuk bangkit. Membuat dua cangkir kopi untuknya dan untuk Draco. Berharap secangkir kafein akan mampu membuat Draco berbicara. Atau setidaknya berhasil membuat Draco mengeluarkan wajah menjengkelkannya kembali. Tidak terlalu bagus, memang, tetapi lebih baik daripada wajah murung itu.

"Potter tahu tentang kerjasamaku dengan Ginger," Blaise meletakkan cangkir espresso mereka. Memutar mata malas ketika Draco memincingkan matanya tajam. "Aku dan Cissy memang bekerjasama dengan Weaslette terkait kontrakmu dengan Granger."

Draco benar-benar terbangun sekarang. "Jadi, ini semua adalah ulahmu!" sentaknya dengan wajah frustasi. Ia menunduk. Meremas kepalanya yang mendadak pening. Terlebih ketika mendengarkan Blaise menjelaskan alasan 'di balik kontrak dengan Granger' yang juga membuatnya terkejut dulu.

"Apa ... kau baru dari tempat Granger, Drake?"

"Apa kau memata-mataiku?"

"Aku hanya menebak, dan sepertinya aku benar." Blaise mengangkat bahu. Ia memperhatikan bagaimana Draco menghabiskan cangkir kopinya dalam sekali teguk. Sebenarnya itu bukan tebakan, Ginny memberitahunya bahwa Draco baru saja kembali dari toko buku Hermione. Termasuk menceritakan tentang percakapan Hermione dan Harry yang kemungkinan didengar pula oleh Draco.

"Ayolah, Drake, aku sudah tahu segalanya tentangmu. Kau juga mencintai Granger," ucap Blaise penuh penekanan.

Draco tidak langsung menimpali. Ia justru kembali menampilkan wajah datar. Ia menggulung kemeja hitamnya. Kembali menampilkan tato mengerikan yang ia dapat di tahun keenam. Balasan atas pernyataan Blaise tanpa perlu dirinya membuka mulut.

Tato itu. Benda sialan yang selama bertahun-tahun ini membuatnya frustasi. Saksi bisu bagaimana seorang Draco Lucius Malfoy kehilangan hidup. Seluruh hidupnya yang terenggut begitu tanda kegelapan muncul di lengan kiri. Satu yang tidak ingin ia tunjukkan, tetapi selalu muncul di setiap detik hidup Draco. Ketika matahari siang menyertainya dalam pekerjaan, dan ketika malam menyusup ke dalam setiap mimpi.

Blaise memang benar, ia sungguh mencintai Hermione. Selama bertahun-tahun ini. Bahkan ketika ia menerima tanda kegelapan, ketika berusaha keras membunuh Dumbledore yang sama sekali tidak dapat Draco lakukan. Bahkan ketika perang berakhir, ketika mereka kembali bertemu di kompartemen menuju Hogwarts untuk mengulang tahun terakhir, sampai mereka dipertemukan menjadi ketua murid dan harus bersama selama setahun. Lalu, ia melihatnya di pesta kelulusan. Dirinya yang hanya bisa memandang ke satu arah meskipun ingar bingar pesta membuat para murid riuh dalam kebahagiaan. Namun, Draco Malfoy hanya bisa terpuruk dalam satu sudut perasaannya. Seorang diri seraya menatap lurus ke satu arah. Hermione Granger.

Hermione Granger yang membuatnya bimbang, sekalipun ia tahu bagaimana hubungan mereka di masa lalu. Di tahun pertama, kedua, ketiga, bahkan ketika perang datang. Tahun-tahun ketika Draco merasa bimbang akan cinta atau kewajibannya sebagai penerus keluarga Malfoy, sebagai pelindung sang ibu, Narcissa. Draco mencintai Hermione Granger. Sekeras ia mencoba untuk mengelak dan sempurna menjadi bagian dari Voldemort. Wajah Hermione Granger sama sekali tidak dapat terhapus.

"Apa yang akan kau lakukan, Drake?" tanya Blaise lagi. Kali ini dengan suara pelan. Ikut merasakan gejolak emosi yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Karena ia paham, bagaimana menjadi bagian dari yang tidak diinginkan, tetapi menuntut untuk diakui.

Draco memperhatikan tanda kegelapan di lengannya. Menelusuri menggunakan jemarinya gambar ular dan tengkorak itu. "Hermione tidak boleh mencintaiku," ucapnya lirih.

Matahari sudah sempurna menghilang. Menghadirkan gelap. Menyembunyikan segala rupa, termasuk wajah Draco Malfoy yang menolak beranjak. Bahkan selepas Blaise yang sudah lama undur diri, menawarinya ke sebuah pub. Mungkin menghabiskan tiga atau empat botol tequilla dan tertidur lama barang sehari-dua hari. Namun, Draco masih bertahan di ruang kantornya yang temaram. Sengaja tidak menyalakan lampu atau bahkan menggeser korden. Hingga dapat ia saksikan perjalanan matahari berjalan ke peraduan.

Draco tenggelam dalam gejolak yang menguasainya semenjak beranjak dari depan toko Hermione di Hogsmeade. Selepas ia menyaksikan anggukan serta air mata gadis itu mengalir. Menyaksikan sendiri bagaimana gadis itu menyatakan cinta, walau tidak langsung di hadapannya. Namun, Draco mengerti. Ia melakukan hal serupa setiap hari. Granger, aku mencintaimu. Tiga kata serupa rapalan doa yang selalu meluncur di bibir Draco. Terucap dalam lubuk hatinya. Walau hanya mampu didengar oleh fajar pagi atau matahari senja. Ia melakukannya.

"Granger, kau tidak boleh mencintaiku," ucap Draco lirih.

Menggunakan lengannya, ia menutup wajah. Merasakan matanya yang memanas. Sebelum kemudian mengalirkan air mata dengan deras. Cukup deras sampai membuat lengan kemejanya basah. Sementara seluruh ruangan diliputi oleh isak tertahan Draco. Seseorang yang baru saja ambruk selepas mengetahui perasannya terbalas. Hei! Hermione Granger juga mencintainya, tetapi ia juga tidak sepenuhnya bahagia. Karena bagi Draco Malfoy, si mantan Pelahap Maut, Hermione Granger tidak patut mencintainya seperti ini.

***

Selepas pengakuan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, Hermione lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun. Ditemani oleh komputernya yang selalu menyala dan dua naskah yang meminta untuk disunting. Hermione hanya termenung dengan kedua mata sembap. Ia bahkan tidak tahu harus melakukan apa.

Harry beranjak sebelum langit menampilkan warna jingga memesona. "Lakukan apapun yang membuatmu bahagia, Hermione. Aku tahu Malfoy mencintaimu, dan jika kau juga mencintainya, maka tidak ada yang harus kulakukan selain mendukungmu." Begitulah yang diucapkan oleh pemuda berkacamata itu sebelum pergi.

Ya, Hermione memang sudah mengakui bahwa ia mencintai Draco. Dan, kenyataan bahwa Draco juga mencintainya, ia sama sekali tidak tahu. Selama bekerjasama, juga setahun tinggal bersama, Hermione sama sekali tidak pernah mengira bahwa Malfoy junior itu akan mencintainya. Hermione Granger, si musuh bebuyutan, dan ... muggle-born? Yang terakhir adalah hal paling tidak masuk akal untuk membuatnya percaya bahwa Draco mencintainya. Bahkan selepas Harry juga menjelaskan tentang alasan Blaise menawarinya kontrak untuk bekerjasama dengan Malfoy Corp, atau dengan Draco lebih tepatnya.

Ia memperhatikan ke depan. Papan yang terpasang di dinding di samping komputer. Beberapa hasil riset tentang penulisan buku biografi ini. Termasuk foto-foto Draco yang ia kumpulkan dari Daily Prophet maupun surat kabar muggle. Draco Malfoy yang tengah tersenyum menatap kamera. Senyum tipis saja, tetapi dapat membuat Hermione memegangi dadanya yang berdebar kencang. Satu hal yang membuat gadis itu menyadari, entah benar Draco mencintainya atau tidak, ada satu hal yang sangat pasti untuk ia akui. Bahwa ia mencintai Draco Malfoy.

"I love you, Draco."

[To be Continued_Chapter 19: The Feeling I Hold Before]

[END] THE GHOSTWRITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang