CHAPTER 15_CHRISTMAS NIGHT, THREE YEARS AGO

698 129 0
                                    

Love and Hope masih belum menunjukkan adanya aktivitas apapun. Namun, Draco Malfoy sudah berdiri di depan bangunan itu. Dengan penampilan yang berhasil membuat semua orang di Hogsmeade tertarik. Tentu saja, jika ada orang yang mengenakan pakaian hitam dengan rambut pirang platinanya, sudah pasti itu Malfoy. Dan, beruntung sekali bahwa mereka mendapai si Malfoy Muda di depan toko buku tersebut.

Draco memang sudah mengetahui bahwa semua orang yang melewatinya akan saling berbisik. Entah karena ia yang berdiri di depan toko buku Hermione, tentangnya yang berpakaian aneh, atau cukup karena kehadirannya di tempat itu. Semua perkataan yang tidak bisa membuat Draco berpaling untuk segera pergi. Bersembunyi di apartemennya atau kembali ke kantornya dan mulai mengurus berbagai hal. Namun, Draco masih terdiam di sana. Tanpa berbekal apapun dan hanya terdiam dengan tangan kosong. Tidak menduga bahwa seseorang yang ingin ia temui, juga tengah memperhatikannya dari kejauhan.

Hermione yang baru saja terbangun di meja kerjanya. Di ruangan khusus untuknya, masih bagian dari Love and Hope. Terpaku dengan tatapan sendu untuk seseorang yang berdiri di depan toko bukunya sendiri. Draco Malfoy yang sudah berada di sana sejauh ia membuka. Entah sejam, entah setengah jam. Ia tidak paham benar. Satu yang Hermione pahami sekarang, tatapan sendu pemuda itu. Namun, sejauh Hermione memahami, semakin ia tidak ingin pergi menghampiri. Membuka pintu dan mendengarkan apapun yang akan Draco katakan.

"Maafkan aku, Malfoy," bisik Hermione parau. Ia mengembuskan napas panjang begitu melihat Draco akhirnya berlalu.

Ia kembali menyibukan diri dalam pekerjaan. Mencoba mengalihkan Draco Malfoy dari pikirannya barang sekejap. Terhenti selepas menyadari, bahwa ia juga sedang menulis tentang pemuda itu. Seseorang yang baru saja meninggalkan halaman Love and Hope dengan ekspresi sendu. Hermione terdiam sebelum memilih untuk membaringkan diri barang sekejap. Mungkin tidur beberapa jam lagi akan membuat pikirannya kembali segar. Namun, sekeras Hermione mencoba terlelap, bayang wajah sendu Draco Malfoy selalu hadir.

Mau tidak mau tetap terjaga, Hermione mencoba mengalihkan perhatian. Menyentuh komputernya yang menyala semenjak malam begitu ia tiba di tempat ini. Enggan kembali ke flatnya di muggle London. Menghindar dari Ginny yang mendadak muncul dari perapian, atau justru lebih buruk lagi. Jadilah ia mengunci diri di sini. Yang tentu saja berhasil ditemukan oleh istri Harry Potter itu. Selang beberapa saat selepas pergi dari pesta pernikahan Ron Weasley dan Lavender Brown.

Ginny meminta maaf seraya memberikan pelukan hangat untuknya. Cukup membuat Hermione cemas, ia akan membuat pundak Ginny basah seperti yang ia lakukan kepada Draco tempo hari. Seseorang yang mau tidak mau harus diakui Hermione membuatnya menangis kala itu. Selain, tentu saja, menangisi dirinya sendiri.

"Maafkan aku karena sudah mengacaukan pestanya, Gin," ucap Hermione begitu dirinya sudah tenang. Mencoba tersenyum untuk menenangkan sang sahabat.

"Semua orang sudah kehilangan kewarasan hanya karena kau memilih jalan yang benar, Mione."

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah tahu sejak lama, tentang hubunganmu dengan Ron," Ginny meraih tangan Hermione, menggenggamnya. "Aku tahu kau sudah ingin pergi sejak lama, tapi kau terlalu memikirkan orang lain. 'Mione, pergi dari hubungan yang tidak sehat bukanlah kesalahan. Kenapa kau selalu menundanya?"

"Gin, hubunganku dengan Ron sam-"

"Hermione, berhentilah berbohong kepada dirimu sendiri. Berhenti memikirkan orang lain sebelum kau mengambil keputusan jika memang hatimu menginginkannya. Dengarkan aku, kau tidak bisa membuat semua orang menerima keputusanmu, setidaknya saat ini. Namun, percayalah padaku, seiring berjalannya waktu, mereka akan mengerti."

Begitulah kalimat terakhir Ginny sebelum kembali menghilang di perapian. Meninggalkan Hermione yang tidak bisa tertidur dan melampiaskannya kepada pekerjaan. Mengerjakan apapun sampai tidak sadar sudah terlelap. Terbangun berkat cahaya matahari yang langsung memberinya kejutan, Draco Malfoy berdiri di depan tokonya dengan tatapan sendu.

Hermione tidak bisa memungkiri bahwa ucapan Ginny memang benar. Hubungan tidak sehat. Entah sudah berapa lama dirinya merasakan hal itu. Sepuluh tahun lalu mungkin tidak. Selepas perang yang membuatnya cinta mati dengan Ron Weasley. Menganggap sosok yang pertama kali menjadi sahabatnya itu adalah salah satu orang paling berharga di dunia. Namun, seiring berjalannya waktu, ia tersadar. Hati Hermione hanya mampu memberi perasaan untuk sahabat kepada Ron Weasley. Tidak lebih. Bahkan sampai hari ketika ia mengetahui perselingkuhan pemuda itu dengan Lavender Brown. Pegawai bagian keuangan di Chudley Cannons.

Ia tidak menyadarinya sampai beberapa tahun kemudian. Selepas berperang dengan dirinya sendiri, bahwa cinta akan muncul dengan terbiasa. Namun, ia tidak terbiasa mencintai Ron Weasley melebihi sosok seorang sahabat. Tidak pula dapat menghadirkan cinta kepada diri pemuda itu melebihi status tersebut. Namun, tidak untuk seseorang yang ia temui di malam natal. Malam natal tahun 2005. Malam panjang yang harusnya tidak ia gunakan untuk kembali ke rumah orangtuanya di muggle London. Hingga tidak perlu baginya untuk merasa bahwa hubungannya selama ini dengan Ron Weasley hanyalah kesalahan belaka.

Hermione tersadar malam itu, malam ketika ia pulang dari gereja. Salju tipis-tipis turun, memenuhi jalanan London dengan warna putih yang cantik. Nampak makin kemilau terkena lampu-lampu jalan. Ia berjalan keluar dari katedral seraya menahan dingin. Kedua orangtuanya masih di dalam, tetapi ia memutuskan untuk keluar terlebih dahulu. Ingin melihat pohon natal terbesar di seluruh kota. Tepat di depan bangunan berbata merah ini.

"Hei, kiddo. Kau tidak apa?"

Telinganya menangkap suara seseorang yang terdengar akrab. Hermione hampir tidak percaya pada sosok yang tadi ia dengar suaranya. Pemuda dengan mantel hitam tengah berlutut di depan bocah dengan muka memerah menahan tangis. Ia merasa beruntung karena walaupun jarak mereka cukup dekat, di bawah langit malam dan juga keramaian, mereka tidak mungkin akan saling menemukan.

"Aku ingin mommy," timpal bocah itu dengan suara parau.

"Baiklah," pemuda itu mengulurkan tangannya yang tidak dibalut kaus tangan. "Ikut denganku, kita cari ibumu."

Hermione hampir tidak percaya bahwa ia bisa melihat pemuda itu mampu bersikap manis. Terlebih ketika memenuhi janjinya. Menemukan ibu si bocah dan bahkan sempat dilihatnya mereka mengobrol hangat. Ya, walaupun tidak berselang lama karena mereka lantas berpisah. Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri jalanan London, tanpa menoleh ke arahnya yang masih memperhatikan dari balik pohon natal besar. Padahal jika ia mampu bertahan sebentar lagi, pemuda itu akan menemukan Hermione yang memerah mukanya.

"Ini tidak benar," ucap Hermione lirih. Ia memegang dadanya yang berdegup kencang. Degupan yang berhasil memompa darah ke seluruh tubuh dengan lebih cepat. Menyebarkan sensasi aneh yang harusnya tidak muncul. Terlebih untuk sosok yang terakhir dilihat ketika perayaan kelulusan Hogwarts. Lima tahun lalu.

[To be Continued_Chapter 16: Business Partner]

[END] THE GHOSTWRITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang