CHAPTER 17_WE ALREADY KNEW

732 133 3
                                    

Granger,

Ini adalah surat terakhir yang kukirim untukmu. Kumohon balaslah. Kenapa kau menghindariku?

DM

Hermione mengembuskan napas panjang. Ia memandangi surat yang baru saja tiba di toko bukunya bersama dengan berkas dalam amplop putih. Benda yang kemarin ia kirim kepada Blaise Zabini. Nampak beberapa hal sudah dicoret menggunakan tinta berwarna merah. Permintaannya, bahwa Draco yang harus mengoreksi tulisan itu terlebih dahulu. Tentu saja sebelum berpindah tempat ke meja editor dari penerbit yang sudah dikontrak Malfoy Corp sebelumnya. Harper and Harper Publisher House. Masuk ke dalam penerbitan terbesar di Britania Raya. Mereka hampir hanya menggunakan penulis-penulis terkenal saja. Satu hal yang jujur saja menjadi pertimbangan Hermione.

Namun, kenyataan bahwa penerbit besar itu sebentar lagi akan bekerjasama dengannya, belum cukup kuat untuk mengalihkan Hermione saat ini. Tentu saja dari surat-surat yang dikirim oleh Draco kepadanya. Ah, bahkan bukan hanya surat, melainkan beberapa puluh pesan melalui ponsel, dan panggilan telepon yang ia abaikan. Sudah hampir tiga minggu lamanya.

"Maafkan aku, Malfoy," gumam Hermione sebelum meremas kertas itu dan langsung membakarnya. Kembali menyibukan diri dengan dua naskah untuk satu buku yang sama.

Hermione hanya ingin melakukan penyuntingan sebelum kembali diserahkan kepada Draco untuk kembali diperiksa. Namun, keinginannya seperti percuma saja. Terlebih ketika mendengar seseorang sudah muncul di dalam toko bukunya yang masih akan tutup entah untuk beberapa lama lagi.

"Harry, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu," ucapnya tanpa ekspresi.

Memang benar, seseorang yang kini berdiri tak jauh darinya dengan wajah kusut itu adalah Harry Potter, menteri sihir saat ini. Harry yang mendekat, tetapi tidak mendapatkan respon apapun selain tatapan kosong. Sebenarnya cukup untuk membuatnya tersadar, Hermione benar dengan ucapannya barusan.

"Apa itu naskah untuk buku biografi Malfoy?"

"Ya, untuk dua versi penerbitan," Hermione bangkit. Membimbing Harry ke tempat biasa dirinya menerima tamu di Love and Hope. "Ada apa?"

Harry duduk tepat di pinggir jendela, di hadapan Hermione yang masih memasang wajah tanpa ekspresi. Ia mengembuskan napas panjang. Teringat bagaimana terakhir kali mereka duduk berhadapan seperti ini. Atau lebih tepatnya, saling berdebat sebelum kemudian bertemu di pesta pernikahan Ron. Yang, ya, juga tidak berakhir dengan baik. Harry akan selalu teringat ekspresi Hermione ketika meninggalkan pesta itu.

"Ginny sudah mengatakannya kepadaku," Harry membenarkan posisi duduk. "Tentang hubunganmu dengan Ron yang tidak pernah kuketahui."

"Aku tidak tahu, bahwa kehidupan pribadiku harus diketahui orang lain," timpal Hermione dingin.

Giliran Harry yang memasang wajah frustasi. "Hermione, ayolah."

"Aku benar, Harry. Beberapa bulan belakangan ini, kau bersikap seperti orang asing untukku!"

"Itu karena aku tidak tahu harus melakukan apa!"

"Kau bisa bertanya kabarku, Harry. Kau bisa melakukannya," timpal Hermione pelan. Ia menghapus air matanya dengan kasar.

"It's not a big deal, Hermione."

"It's. A. Big. Deal. Mr. Potter! Tidak ada satu pun orang yang bertanya bagaimana keadaanku selama ini. Apa kau tahu kenapa aku masih mempertahankan hubunganku dengan Ron? Tahu, tidak?"

Harry terpaku. Ia terdiam di hadapan Hermione yang masih menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa dihantam beban berat menyaksikan itu. Hermione tidak pernah meluapkan emosinya seperti ini. Bahkan ketika perang berakhir, ketika memberikan mantra obliviate kepada orangtuanya, lebih-lebih ketika mengetahui kabar perselingkuhan Ron yang berujung perpisahan keduanya. Sejauh yang Harry tahu, bahkan sampai menghancurkan karier Hermione. Jauh berbeda dengan Ron, sahabat karibnya juga, yang semakin bersinar dengan karier di Chudley Cannons.

"Karena kalian! Karena kalian selalu ada di setiap aku mengambil keputusan. Kau lihat, bagaimana kemarin Molly maupun Arthur tidak ada yang mencegahku untuk pergi?"

"Hermione, aku-"

"Kau tahu, Harry, itu sangat menyakitkan."

Terjadi keheningan yang cukup lama. Keduanya dalam dunia masing-masing yang terlampau berbeda. Harry yang ingin masih berpendapat tentang keputusan salah Hermione, tetapi diserang oleh logika lain selepas gadis itu berbicara. Dan, Hermione yang berusaha untuk segera menyudahi pembicaraan ini. Keduanya bahkan tidak tersadar sudah ada seseorang yang berada di ambang pintu. Menyaksikan perdebatan dua sahabat itu dari balik pintu kaca.

Harry mendekat terlebih dahulu. Memeluk Hermione erat, mencoba menenangkan gadis itu. Persis seperti yang dilakukan Hermione setiap kali dirinya merasa kacau. Ia menepuk-nepuk pundak gadis itu pelan. "Hermione, maafkan aku. Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu kau begitu menderita selama ini."

Tangis Hermione kembali pecah. Ia seperti tengah melampiaskan segala perasaan yang selama ini terpendam. Tentang hubungannya dengan Ron, tentang perselingkuhan Ron yang diam-diam ia syukuri, tentang kariernya yang hancur, juga tentang malam natal tiga tahun silam. Tentang Draco Malfoy yang dalam sekelibat muncul begitu saja. Ia melepas pelukan Harry.

"Bajumu basah, Harry, maafkan aku," ucap Hermione diakhiri kekehan. Keduanya sama-sama tersenyum.

Masih dari tempatnya berdiri, pemuda itu berusaha untuk mengendalikan diri. Ia ingin segera berlari menuju ke tempat Hermione dan Harry duduk bersama. Mengganti tempat Harry memeluk dan menenangkan Hermione. Membiarkan bajunya kembali basah oleh air mata gadis itu. Namun, yang mampu dilakukannya sekarang hanyalah tetap berdiri di depan pintu seperti idiot. Tidak mempedulikan beberapa orang yang berlalu-lalang di sekelilingnya. Di jalanan Hogsmeade yang akan selalu ramai. Terlebih ketika melihat sosoknya yang berdiri di tempat ini lagi. Seperti yang dilakukannya tiga minggu lalu.

"Sekarang, katakan kepadaku, Hermione," ucap Harry dengan lirih tetapi terdengar serius. Pemuda itu semakin memasang telinga. "Ada apa denganmu dan Malfoy?"

Terdengar Hermione yang mengembuskan napas panjang. Membuat debar jantungnya semakin bertambah kencang setiap saat. Mengantisipasi kata-kata yang akan terucap dari bibir gadis itu. Sejenak, ia bisa melihat sorot mata Hermione meredup.

"Apa Ginny sudah mengatakannya kepadamu?"

"Tidak. Kebetulan kemarin aku memergoki istriku sendiri bertemu dengan seseorang."

"Kau membuntutinya?"

Harry mengangguk. "Dan, tebak siapa yang ia temui?" Ia mencondongkan tubuh. "Blaise Zabini."

"Kenapa Ginny bisa," Hermione tercekat begitu menyadari satu hal. "Kenapa Ginny bertemu dengan Zabini, apa ini berkaitan dengan kontrakku?"

"Mereka bekerjasama, membuatmu mengambil kontrak dengan Malfoy," tegas Harry. Dengan ekspresi melembut, ia mengambil tangan Hermione. Menggenggamnya erat. "Awalnya aku tidak senang dengan ide gila Ginny, ia mengaku dan mengatakan semuanya kepadaku. Tapi, apa yang harus kulakukan jika ternyata mungkin karena ide gila itu, sahabat terbaikku akan bahagia."

Hermione bisa merasakan kedua matanya kembali memanas. Terlebih ketika ia melihat senyum lembut Harry kembali nampak. Juga kedua tangannya yang digenggam erat oleh pemuda itu. Ia ingin berbicara, tetapi bibirnya terasa seperti terkunci. Hingga yang bisa dilakukan Hermione saat ini hanyalah terdiam. Membiarkan Harry kembali berbicara.

"Aku tidak ingin menghalangimu lagi, 'Mione. Apapun yang akan terjadi dengan kalian, aku akan mendukungmu."

"Harry, aku tidak-"

"You love him?"

Pertanyaan yang meluncur itu, tidak hanya membuat Hermione terkejut. Namun, seseorang yang masih setia di tempatnya berdiri. Sosok yang kembali mempersiapkan diri untuk segala jawab yang akan dilontarkan Hermione. Lama ia menanti, sampai kemudian lututnya terasa lunglai begitu mendapati Hermione hanya mengangguk dengan air mata mengalir deras. Perlahan, ia berbalik dari tempat itu. Benar-benar pergi dan menghilang di jalanan Hogsmeade.

[To be Continued_Chapter 18: You Shouldn't Love Me]

[END] THE GHOSTWRITERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang