"Kenapa mereka bisa segila itu, sih?"
Sudah kesekian kalinya Gendis menanyakan hal yang sama pada diri sendiri. Tak satu pun jawaban didapat, justru kerjaannya sebagai pelayan restoran yang berantakan. Bahkan, sejak pagi tadi ia sudah mendapat omelan tiga kali dari Nero karena melakukan kesalahan.
Ia kini tengah termenung di meja dapur resto dengan kain lap di tangannya. Piring di hadapan pun masih menumpuk, belum ia sentuh sama sekali.
"Ndis, buruan lap piringnya. Pelanggan mulai banyak karena masuk jam makan siang," perintah salah satu karyawan.
"Ish ... iya-iya. Bawel banget." Mau tak mau, ia harus mulai bekerja jika begini.
Setelah membersihkan tumpukan piring, Gendis kembali sibuk dengan pikirannya. Seakan tak peduli jika dianggap memakan gaji buta. Kejadian di makam orang tua Aeera pagi tadi cukup mengejutkan. Ia bahkan masih tak percaya dengan penglihatannya.
"Kenapa gue mau repot-repot mikirin hidup Aeera, sih? Hidup gue aja masih kacau." Ia menghela napas panjang sambil memejamkan mata. "Tapi Aeera udah kayak kakak buat gue. Mana bisa gue nggak kepikiran?"
Perempuan itu mengusap wajah kasar. Benar-benar menyebalkan. Niat hati menyempatkan diri untuk ziarah, malah disuguhi kenyataan yang wah.
"Kamu mau makan gaji buta?" sentak seorang lelaki dari arah samping, membuat Gendis terlonjak.
"Nggak ngagetin bisa kali," protes perempuan itu, "makan gaji buta sehari nggak bakal bikin lo bangkrut. Santai aja."
Bisik-bisik dari karyawan lain mulai terdengar. Sejak awal memang mereka tidak menyukai keberadaan Gendis yang tampak akrab dengan sang bos. Pun karena perempuan itu suka asal bicara seakan tak memiliki sopan santun kepada yang lebih tua. Namun, Gendis peduli apa? Ia memilih pura-pura tuli. Nero sendiri tak mau ambil pusing.
"Bagaimana aku tidak bangkrut jika dalam setengah hari kamu sudah memecahkan tiga piring?" Nero berjalan menjauh. Melihat Gendis yang tidak ada pergerakan, ia berhenti dan menoleh. "Ikut aku!"
Mereka berakhir di ruangan lelaki itu. Sambil menatap Gendis yang berdiri kesal dari kursinya, Nero mulai bertanya, "Ada masalah, Nona?"
Gendis berdecak sekali, lantas duduk di seberang lelaki itu tanpa diminta. "Lo Islam kan, Ner?"
Nero terperangah. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Tiba-tiba pula.
"Pasti lo tau hukum nikah, dong?" cecar Gendis.
"Kenapa memangnya? Kamu mau nikah?"
Gendis menyandarkan punggung pada kursi, duduk dengan lebih santai. "Emang boleh, ayah menikahkan anak perempuannya tanpa si anak tau?"
Lagi-lagi Nero dibuat terperangah. Ekspresinya bahkan sudah seperti orang bodoh sekarang. Dengan dahi berkerut, mata membulat, dan bibir terbuka. Sungguh bukan gaya Nero.
Saat lelaki itu sudah mulai mencerna pertanyaan Gendis, ia mulai santai. "Selama syarat terpenuhi, setahuku sah-sah saja."
"Syaratnya apa?" tuntut perempuan itu.
"Selama si anak sudah memberikan wewenang penuh pada walinya. Dalam hal ini, wali yang boleh melakukan hanya wali mujbir, alias ayah kandung dan kakek kandung dari pihak ayah. Untuk perinciannya, menurut mazhab Syafi'i ada tiga. Untuk anak yang belum dewasa, gadis dewasa, dan janda."
Merasa tertarik dengan pembahasan itu, Gendis mencondongkan tubuh. Tangannya terlipat di atas meja Nero.
"Tapi, kan ... itu bisa merugikan si anak. Maksud gue, iya kalau calonnya baik, kalau nggak?" Gendis jelas penasaran, terbukti dengan raut wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
General FictionKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...