Part 26

211 57 2
                                    

"Suamimu tidak marah kamu menemuiku diam-diam seperti ini, Aaru?" Senyum mengejek dilayangkan laki-laki berkacamata itu. Tangannya sibuk mengaduk jus jeruk di hadapannya, tampak sangat santai dengan punggung bersandar pada kursi.

Dengusan sinis justru lolos dari seorang Aarunya. Perempuan yang masih terlihat sangat dingin di usianya sekarang ini, benar-benar tidak banyak berubah, sangat tenang. "Diam-diam? Jika aku menemuimu diam-diam, maka bukan kedai kopiku yang kujadikan tempat pertemuan, Kalingga. Meskipun kedai yang satu ini memang sangat jarang dikunjungi Caraka, aku akui itu."

Lingga menyilangkan kedua tangan di depan dada, menatap Aaru dengan tajam. "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan sampai memintaku datang jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung? Padahal, aku sedang mengawasi adik kesayanganku di sana."

Aaru yang tadinya juga duduk bersandar, mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya tertaut di atas meja setelah menyingkirkan secangkir kopi latte miliknya agak ke tengah. "Kamu tidak lelah bersikap seperti ini? Mengganggu orang-orang dengan alasan masa lalu. Aku sudah pernah mengatakan bahwa setiap orang punya lukanya masing-masing, Kalingga. Berhenti bersikap seolah kamu yang paling menderita."

Sorot mata lelaki itu berubah sendu dan Aaru menyadarinya. "Tetap saja kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya, Aaru. Aku sudah berkeluarga, tapi aku tidak pernah bahagia karena bayang-bayang ditinggalkan itu selalu muncul. Ibuku, kamu yang saat itu menjadi salah satu alasanku bertahan, hidupku hancur sebelum dan sesudahnya. Aku tidak akan pernah bisa tenang sampai kamu dan orang-orang itu tahu bagaimana sakitnya."

Sambil memejamkan mata erat-erat, Aaru menarik napas dalam dan mengembuskannya. Kadang perempuan itu dibuat bingung oleh Kalingga yang terlalau suka menyimpan dendam. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa bertahan hidup dengan dendam menguasai dirinya selama itu? Jika Aaru, mungkin sudah memilih abai dan menjalani hidup tenang.

"Sekeras apa pun kamu mencoba membuatku dan mereka mengerti, kami tidak akan pernah mengerti, Lingga. Akan lucu jika kita merasakan sakit yang sama untuk masalah yang berbeda. Juga, tidak pernahkah kamu berpikir kenapa kamu tidak pernah bahagia? Terlalu banyak dendam yang kamu simpan. Kenapa tidak mencoba mengikhlaskannya?"

Belum sempat membalas ucapan perempuan itu, Kalingga dibuat membisu setelah salah satu freelancer Aaru menghampiri mereka.

"Maaf, Bu. Pak Caraka telepon ke nomor kedai, cari Bu Aaru. Katanya, nomor Bu Aaru tidak bisa dihubungi," katanya canggung.

Sebelah alis Lingga jelas diangkat tinggi. Ekspresinya langsung berubah menjadi senyum mengejek. "See, orang yang hampir kuhabisi dan menghabisiku, mencarimu. Masih mau menemuiku diam-diam?"

Tak mau merespons panjang lebar, Aaru segera bangkit dan menerima panggilan lewat telepon kedai. "Kuharap kamu tidak pergi dulu."

Setelah tersambung dengan Caraka, perempuan itu mulanya hanya bergumam, merasa belum ada yang perlu dijawab. Caraka sudah hafal betul tabiat sang istri, jadi tenang saja.

"Aku di kedai lama karena menemui seseorang. Juga, bukankah tadi pagi sebelum berangkat kerja, kamu yang memintaku jangan menghubungimu karena ada meeting penting yang sama sekali tidak bisa diganggu? Jadi, aku santai jika ponsel tertinggal di rumah. Di mana salahku?" Nada tenang sepertinya sudah mendarah daging pada Aaru tiap berbicara. Meski sebenarnya, ia tetap akan menyeramkan jika kehilangan kendali.

"Bukan, bukan Ergi, Hujan, Kak Laras, atau siapa pun itu yang kamu sebutkan. Aku menemui Kalingga," tukas Aaru setelah mendengar pertanyaan Caraka di seberang telepon.

Aaru memejamkan mata erat bersamaan dengan gagang telepon yang ia jauhkan dari telinga. Di sana Caraka sedang mencak-mencak sendiri. Namun, perempuan itu tetap santai, tidak merasa terintimidasi atau bersalah.

Logika Jentera (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang