Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari saat Aeera selesai melakukan revisi pada skripsinya, lagi. Ia melakukan peregangan tubuh sejenak sebelum kembali menyandarkan punggung pada kursi belajar. Meja di hadapannya masih sangat berantakan, penuh lembaran kertas dan beberapa tumpukan bendel skripsi yang isinya penuh coretan dosen.
Mengembuskan napas panjang sekali, perempuan itu lantas segera membereskan kekacauan yang ia buat. Ditutupnya laptop setelah sekali lagi mengecek pekerjaannya dan meletakkan benda persegi panjang itu tepat di tengah-tengah meja.
Aeera sempat meletakkan kepala di atas meja dengan mata terkantuk-kantuk sebelum ia terlonjak karena mengingat sesuatu. Diambilnya sebuah buku bersampul hitam dengan tulisan "Angin" bergaya grafiti di atasnya. Ia yakin bahwa tulisan itu adalah sebuah tulisan tangan yang dibuat menggunakan spidol bertinta silver.
Buku itu memiliki ukuran A5 dengan ornamen yang sama-sama dibuat menggunakan goresan tinta silver di sudut-sudutnya. Hanya berupa gambar tak beraturan sebenarnya, tetapi cukup cantik untuk Aeera si penyuka sesuatu yang abstrak.
Saat dibukanya lembar pertama, Aeera menemukan tulisan lain yang cukup besar, hampir memenuhi satu halaman. Siapa aku? Begitu yang tertulis di sana. Gadis itu memutuskan membuka lembar selanjutnya dan membaca tulisan tegak bersambung yang sangat rapi. Ia sempat tak percaya bahwa itu adalah tulisan Maruta.
Sebelum berangkat kampus pagi tadi, lelaki itu memang menyerahkan buku tersebut pada Aeera. Katanya, untuk membagi beban dan pikiran. Maruta juga bercerita bahwa di sana berisi perjalanan hidupnya sejak kecil tatkala Aeera memberi cibiran bahwa buku itu sudah lusuh.
Kata demi kata ia tekuri dengan saksama. Sesekali Aeera mengerutkan dahi dalam saat membaca bagian yang menurutnya membingungkan.
"Ia tidak menyadari keberadaanku. Yang ia lakukan di rumah hanya menangis dan berteriak seperti orang gila. Sementara sisanya, ia hanya memacu langkah di jalanan sambil menggumamkan nama Nareswara, maaf, Nareswara, maaf, begitu berulang-ulang. Kebingungan awalnya, karena namaku Maruta Syailendra, bukan Nareswara. Namun, Nareswara benar-benar ada."
Aeera menautkan alis setelah membaca paragraf awal itu. Sejenak, dialihkan pandangannya yang kosong ke depan, tepatnya ke arah lampu belajar. Dirasa sudah menemukan maksud Maruta di sana, ia kembali membaca paragraf selanjutnya dengan suara pelan.
"Tak pernah ada makanan di meja. Mengganjal lapar pun, sering kulakukan dengan meminum air saja. Ayah? Sosok itu sudah pergi ke ... mungkin alam lain dengan luka yang ditoreh Ibu begitu dalam." Tanpa sadar, liquid bening itu sudah luruh dari kelopak mata Aeera. Perlahan, bahunya ikut berguncang karena ia juga diingatkan akan kepergian orang tuanya secara tidak langsung.
Nareswara, kakakku dari ayah yang lain. Ibu begitu mencintainya hingga lupa ada anak berumur sebelas tahun yang mulai kehilangan seluruh hidupnya. Anak yang sudah ia tinggalkan dengan alasan ekonomi itu, kini menjadi alasan terkuat untuk membuang anaknya yang lain.
Maaf, karena tepat setelah pisau dapur teracung di leherku hingga meninggalkan goresan dalam di sana, aku tidak lagi memiliki Tuhan. Semua itu ... karena Ibu.
11 years old
Aeera tercengang. Masih dengan linangan air mata, ia menggeleng berulang kali. Ternyata begitu mulanya. Semua dimulai dari rasa sakit hati dan dikalahkan keadaan, sama seperti dirinya.
Alih-alih meneruskan membaca halaman berikutnya, Aeera justru menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam tas yang akan ia bawa ke kampus. Rasanya, ia tak sanggup jika harus membaca kisah itu saat ini juga. Fisik dan mentalnya butuh istirahat. Lebih-lebih, Aeera yakin jika yang tertulis di sana tak akan dengan mudah ia cerna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
General FictionKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...