Tiga orang itu tengah diam dengan pikiran masing-masing. Dua laki-laki tampak sama-sama memijit pangkal hidung, sementara satu-satunya perempuan masih menangis dengan nada sesenggukan yang terdengar jelas. Tangannya saling tertaut di pangkuan, sesekali memilin lengan sweater.
"Ayah kenapa seegois ini, sih? Anya udah nyaman kuliah di sini, nyaman sama temen-temen, nyaman karena Anya bisa senggaknya mandiri tanpa Ayah sama Mama." Nada kekecewaan Anya sama sekali tak bisa disembunyikan.
Caraka menghela napas kasar. Sudah berulang kali ia melakukan itu untuk menahan emosi. Rasa lelahnya bahkan tak terasa meski dari Bandung langsung ke kos Anya di Jakarta dan menyusul anaknya itu ke restoran Nero.
Kini, ketiganya memang berada di hotel yang baru dipesan Caraka beberapa menit lalu. Tak mungkin ia ke kos Anya atau Gama, tak ada ruang cukup untuk berbicara dengan keduanya. Setela meninggalkan restoran tadi, mereka langsung disusul Gama, sementara yang lain hanya bisa diam, tak tahu situasi yang tengah terjadi.
"Om, kenapa tiba-tiba? Apa ada masalah?" tanya Gama untuk kesekian kali, karena sejak tadi lelaki yang ia panggil om itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Berhasil, kali ini Caraka merespons pertanyaannya dengan tatapan tajam. Takut? Tentu saja tidak. Pemuda itu tak akan mempan dengan intimidasi, bagaimana pun bentuknya. Ia bahkan menatap lelaki yang lebih tua darinya itu dengan tatapan datar.
"Masalah?" Caraka terkekeh untuk beberapa saat, membuat Anya dan Gama memandangnya aneh. "Kamu bahkan ikut merahasiakan teror itu bersama Tante Aaru, Gama? Kamu tidak memberitahu apa pun pada Om?"
Gama menghela napas. Sekarang, ia paham apa yang sedang terjadi. Ini hanya perkara kekhawatiran. Pemuda itu sempat tertegun karena ternyata Aaru tak memberitahu itu pada Caraka. Namun, ia percaya bahwa perempuan itu memiliki alasan yang kuat.
"Maaf, Om. Gama kira Tante Aaru sudah memberitahu Om." Gama menyandarkan punggung pada sofa.
Tangan Caraka yang semula berada di pangkal hidung, dialihkan ke kedua kening. Ia memberi pijatan kecil di sana, berharap pening yang dirasakan sedikit mereda.
"Om Raka ...." Gama menjeda ucapannya. Ia sedikit menyipitkan mata saat memutuskan kembali fokus pada lelaki yang berdiri di hadapan. "Anya ... tidak harus pindah kampus. Gama akan jaga dia di sini. Juga, Om Kalingga akan sedikit teralihkan meski Anya tetap di sini."
Anya dan Caraka sontak mengerutkan dahi sambil menatap pemuda itu. Mereka sama-sama bingung dengan maksud ucapan Gama. Terlebih, Caraka tidak tahu menahu perkara Maruta dan Aeera.
"Maksud kamu?" tanya Caraka.
"Om Kalingga punya masalah lain yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk diurus. Menyangkut keluarganya sendiri. Jadi, seharusnya masalahnya dengan Om Carakan serta Tante Aaru akan teralihkan untuk beberapa waktu. Setidaknya, sampai Tante Aaru merealisasikan rencananya."
Caraka semakin dibuat kebingungan. Anya sendiri sudah duduk menyamping agar menghadap Gama. Masih ada sisa air mata di netra gadis itu, tetapi ia lebih penasaran dengan ucapan lelaki yang duduk satu sofa dengannya.
"Keluarganya? Maksudmu, keluarga yang mana? Kalingga bahkan seakan tidak peduli dengan istri dan anaknya," sanggah Caraka.
Gama mendongakkan kepala, memandang langit-langit kamar hotel dengan tatapan kosong. "Bukan keluarganya yang sekarang, tapi adiknya. Om Kalingga ingin melimpahkan kesalahan ibunya di masa lalu ... pada adiknya. Yang jelas, Om Caraka tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Anya. Dia akan aman."
Caraka mengacak rambutnya kasar. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Gama bagai labirin tanpa pintu keluar baginya. Buntu. Ia tidak bisa berpikir.
"Tunggu, jadi kamu mulai membahas masalah lain di sini? Lagi, Kalingga memiliki adik? Jangan bercanda, Gama. Kamu pasti tahu bahwa dia berasal dari panti asuhan. Bagaimana bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
General FictionKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...