Part 4

426 81 16
                                    

Happy reading dan semoga nggak oleng kayak yang nulis.

•••

"Biasain salam!"

Langkah itu tiba-tiba terhenti. Menghela napas sekali, ia memejamkan mata rapat-rapat. Sungguh, ia tak menyangka laki-laki itu akan pulang hari ini.

"Aku belum bisa, Kak Bayu."

Bayu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Ia menatap Aeera dalam dengan sorot mata terluka. "Bagaimana Kakak bisa berhadapan dengan Ayah dan Mama, Ra? Kamu jadi tanggung jawab Kakak sekarang, tapi apa yang bisa Kakak lakukan? Kakak gagal menjaga kamu, gagal."

Aeera balas menatap Bayu dengan datar. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya. "Aku sedang mencari jalan untuk kembali. Jadi, kumohon. Jangan berkomentar apa-apa dulu. Aeera janji akan kembali, entah kapan itu. Aeera janji."

Luruh sudah air mata lelaki yang telah berada di hadapan Aeera. Ia berdiri dengan bahu bergetar karena isak tangis. Baginya, tak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan, apa pun bentuknya.

Aeera menunduk sejenak, lantas kembali mendongak, menatap mata Bayu. Tanpa sadar, sebulir air mata jatuh. "Kak Bayu percaya, kan, sama aku? Ini bukan hal yang mudah setelah semuanya. Aku cuma perlu waktu."

Tanpa aba-aba, Bayu mendekap tubuh adiknya. Ia menumpahkan tangis di bahu gadis berharga itu.

Sama halnya Bayu, Aeera pun menyalurkan segala kegelisahan, kesakitan, juga beban di dada sang kakak.

Aeera melepaskan pelukannya beberapa saat kemudian dan tersenyum tulus. Perlahan, jari telunjuknya diarahkan untuk menghapus sisa air mata di pipi Bayu. "Aku selalu suka lihat laki-laki menangis. Karena aku tau, tangis mereka hanya untuk orang-orang tersayang. Waktu Banyu nyakitin aku, Edsel sama Harsa nangis. Maruta juga meskipun cuma berkaca-kaca. Kak Bayu apalagi. Sering banget. Aeera beruntung punya kalian."

•••

"Kamu yakin dengan penjelasan semacam tadi bisa membantu Aeera?"

Lawan bicaranya hanya diam sambil menyesap kopi yang disuguhkan.

"Memang apa lagi yang bisa dijelaskan pada seseorang yang ragu semacam Aeera? Mengatakan kurang iman, jelas manusia tidak bisa menilai iman yang lain. Jika dia mengimani apa yang diyakini, apa kita bisa menyebutnya kafir? Tidak, kan?" Jawabannya sukses membuat sang lawan bicara bungkam.

Waktu terus bergulir, tetapi dua orang berbeda gender itu masih asyik saling diam di teras indekos Anya. Maklum saja, tak ada jam malam di sana. Selama penghuninya tidak melakukan hal terlarang, semua hal diperbolehkan.

"Teori kamu tadi beneran atau ngarang?" Anya melirik sinis pada Gama. Nada bicaranya begitu sangsi.

"Menurutmu, apa teori itu sebuah kebenaran mutlak?" Gama menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Teori itu hasil pemikiran, Anya. Tidak ada yang benar-benar salah dan benar."

Kali ini Anya sudah menyerongkan tubuhnya, menghadap Gama. Sebelah alisnya sudah menukik tajam. "Kalau belum tahu salah benernya, kenapa kamu bilang ke Aeera?"

Seketika lelaki itu menatap Anya dengan sorot mata geli. Senyum miring jelas tercetak di bibirnya. Tak lama, kekehan kecil muncul.

"Seperti biasa, Anya yang tanpa pemikiran dalam." Gama menghela napas panjang sekali. "Pakai rasamu sedikit, Anya. Jangan melulu peduli pada apa yang memang menarik perhatianmu dan mengubur apa yang menurutmu rumit. Tidak semua hal bisa kamu buat begitu."

Anya mengerucutkan bibirnya kesal. "Lantas, apa yang bisa kupahami dari kata-kata rumitmu pada Aeera itu?"

Gama kembali meraih cangkir kopi dan menyesap isinya. Setelah itu, ia menyugar rambutnya yang sedikit gondrong.

Logika Jentera (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang