"Aku? Kenapa menyebut namaku, Aeera?" Suara berat itu membuat Aeera dan Aaru menoleh bersamaan.
Maruta berdiri tegap di sana, dengan kacamata hitam yang sudah berganti dengan kacamata baca. Di tangannya tertenteng sebuah buku yang cukup tebal, itu novel. Aeera hafal betul novel apa itu, Api Tauhid karya Habiburrahman el-Shirazy.
"Bukan kamu? Lalu, kamu dari mana dan kacamata siapa itu?" cecar Aeera, membuat Aaru tersenyum dan menggeleng beberapa kali.
Diangkatnya novel itu di depan muka. "Dari tempat baca di samping ruangan yang kamu masuki tadi. Juga, ini milikku, Aeera. Aku membawanya dari Jakarta."
Tuhan, bisakah Aeera mengumpat sekarang? Ia jadi bertanya-tanya, entah matanya yang kurang jeli, hingga tak menemukan tempat yang Maruta maksud, atau memang Maruta yang pintar melipir.
Menyadari sesuatu, Aeera kembali menatap Aaru. "Lalu, siapa yang Tante maksud?"
Aaru mengedikkan bahu kali ini, tidak langsung menjawab seperti yang ia katakan sebelumnya. Perempuan itu justru mengalihkannya pada pernyataan lain, "Mungkin kalian juga harus terlibat, begitulah semua ini akan berakhir."
-o0o-
Dahi lelaki itu berkerut dalam memandangi bangunan besar serba putih di hadapannya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa Aaru memintanya datang ke tempat berbau obat itu. Lagi pula, memang siapa yang harus ditemui seorang Kalingga di rumah sakit?
Sejenak, dilihatnya lagi ponsel yang sejak tadi digenggam. Layar benda itu menunjukkan kolom percakapan dengan Aaru, yang menampilkan ruang apa dan nomor berapa yang harus Lingga kunjungi.
Sepanjang perjalanan menyusuri lorong rumah sakit, Lingga tak henti bertanya-tanya dalam hati. Perasaannya mulai tak karuan, ketakutan akan siapa yang mungkin akan ia temui menjadi alasan terkuat.
Sampai di depan sebuah pintu ruang VIP, lelaki itu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia lantas meraih gerendel pintu dan membukanya. Seketika seorang perempuan yang ada di sana menoleh, tak terkecuali si renta yang terbaring di atas brankar.
"Siapa itu yang datang, Nak?" tanya perempuan tua itu. Matanya memang mengarah pada Lingga, tetapi dia tidak bisa melihat apa-apa. Ia buta karena faktor usia.
Sementara di tempatnya, Lingga membeku. Apa dia salah mengenali orang? Apa penglihatannya bisa dipercaya? Tanpa sadar, tangannya yang berada di sisi tubuh bergetar, bersamaan dengan sebulir air mata yang meluncur tanpa aba-aba. Sesak rasanya melihat sosok itu. Lingga yang terbiasa bersikap tanpa cela, runtuh seketika.
"Bunda," gumam Lingga.
Perempuan yang tadinya menyuapi seseorang yang Lingga panggil bunda itu, sontak berdiri dan meletakkan mangkuk bubur di nakas. Ia berjalan mendekat ke arah lelaki itu dengan air mata yang menggenang. "Apa Imel salah kalau berharap ini beneran A' Lingga? Imel masih inget dengan baik pemilik wajah ini."
"Imel?" lirih Lingga. Meskipun bergetar kuat, lelaki itu memaksakan tangan kanannya menyentuh kepala perempuan itu. Elusan ringan awalnya, hingga tangan yang lain ikut ia angkat dan akhirnya menangkup wajah Imel. "Imelda."
"Kenapa selama ini, A'? Sejak hari itu, belasan tahun lalu, A' Lingga nggak pernah lagi ngunjungin panti. Bahkan, sampai Imel nikah, A' Lingga nggak dateng. Tiap hari Bunda nangis, nggak pernah sekali pun Bunda nggak lihatin foto A' Lingga. Bunda selalu pengen A' Lingga balik, Bunda pengen minta maaf sama Aa' atas nama ibunya Aa', tapi apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
General FictionKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...