Part 27

196 58 4
                                    

Gendis memicingkan mata mendengar ucapan Gama. "Lo pikir, karena dia guru, gue jadi bakal tutup mata kalau dia salah? Gue nggak peduli siapa pun itu, kalau dia salah, ya salah aja. Percuma ilmu tinggi, tapi nggak bisa perlakuin manusia layaknya manusia."

Senyum kecil terbit di bibir Gama. Ia tak menyangka, bahwa perempuan itu memiliki pikiran yang cukup berani perihal keadilan dan ketidakadilan.

"Sejak kapan kamu bisa punya pikiran seperti ini?" tanya Gama lagi, kali ini sampai membuat Anya menoleh padanya dan mengangkat sebelah alis.

"Sejak Tuhan kasih gue otak. Lagi pula, emang nggak ada yang salah sama kerjaan gue dulu. Anggep aja gue yang salah, bukan perempuan secara general." Anya mengakhiri kalimatnya dan kembali makan dalam diam. Ia bahkan tidak mempedulikan keberadaan orang lain di sekelilingnya.

Gama yang menoleh pada Anya, membuat dua orang itu saling berpandangan. Mereka seakan berbicara lewat tatapan mata. Gendis bukan perempuan biasa.

-o0o-

"Kamu mau ajak aku ke mana sih, Rut? Aku baru pulang dari rumah sakit, loh." Aeera mengucapkannya tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Ia justru asyik memandangi jalan dari jendela samping. Perempuan itu memang baru pulang dari rumah sakit dua hari lalu.

Maruta tak langsung menjawab, melainkan sibuk mengendalikan mobil sebelum berbelok ke kiri di persimpangan jalan.

Pukul enam pagi tadi, Maruta memang sudah memaksa Aeera untuk bersiap pergi. Lelaki itu sengaja tak memberitahu tujuannya. Yang membuat Aeera terkejut lagi, terparkir dengan manis mobil asing di depan rumah saat keduanya keluar. Saat ditanya, Maruta berkilah bahwa itu milik Gantari. Tidak ada yang salah, memang. Namun, jika ternyata lelaki itu memiliki kendaraan, meskipun katanya milik Gantari, kenapa selama ini ia suka sekali jalan kaki atau naik taksi? Pemborosan.

"Nanti juga kamu tahu," balas Maruta enggan, "lagi pula, kamu sudah terlalu pecicilan untuk dianggap masih sakit, Ra."

Seketika Aeera menoleh, lengkap dengan sorot menghunus. Maruta benar-benar.

"Fine, terserah. Aku ikut aja."

Setelah kurang lebih dua jam berkendara, mobil Jeep itu diparkirkan sang pemilik di depan sebuah bangunan bernuansa vintage, lengkap dengan beberapa kanvas bertuliskan grafiti tergantung di dindingnya. Siapa pun bisa langsung melihat interior bangunan karena bagian depan dibuat full kaca transparan.

"Bandung. Jauh-jauh ke Bandung dan kamu ngajak aku ke kafe? Nggak kurang jauh, Rut?" Aeera melongo setelah turun dari Jeep, memandang apa yang ada di depan tak habis pikir.

"Lihat dulu, Aeera. Komentar di akhir." Seakan tak memedulikan perempuan itu, Maruta yang hari ini tampak berbeda karena mengenakan kacamata hitam, berjalan lebih dulu. Jangan harap pakaiannya akan lebih rapi, masih seperti biasa tentu saja.

Aeera mendengus dan mengekor di belakang. Sampai di dalam, sama saja, ia tak menemukan sesuatu yang membuatnya kagum. Bahkan, Gantari lebih unik baginya.

Bukannya duduk di salah satu bangku yang ada, Maruta justru mengajak Aeera ke arah tangga setelah berbincang dengan bagian kasir.

"Ke mana sih, Rut?"

Tak ada jawaban. Lelaki itu terus menaiki anak tangga hingga ke rooftop. Di sana, barulah Aeera membisu.

"Aku nggak salah lihat? It's such an amazing place, Maruta." Aeera benar-benar terpana dengan apa yang dilihatnya. Rooftop itu benar-benar menakjubkan bagi perempuan itu, meskipun serba sederhana.

Tak seperti design rooftop kebanyakan, ruang terbuka itu justru tampak serba hitam dengan satu set kursi rotan di salah satu spot. Alih-alih berisi tanaman hias yang biasa Aeera lihat sebagai dekorasi ruangan, perempuan itu justru menemukan banyak pot berisi lucky bamboo.

Logika Jentera (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang